Kamis, 30 Oktober 2008

AKSELERASI IMPLEMENTASI PAKET KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL

Oleh: Marsono *)
Diterbitkan pada Majalah Manajemen Pembangunan LAN No. 59/III/Tahun XVI, 2007

Salah satu upaya akselerasi implementasi kebijakan penanaman modal adalah sikronisasi paket kebijakan penanaman modal dan koordinasi antar departemen, Pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota serta penetapan kebijakan dasar penanaman modal untuk mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi pe-nanaman modal, mempercepat peningkatan penanaman modal melalui pemberian perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing baik dalam bentuk Penanaman Modal Asing Langsung (Foreign Direct Invesment/FDI) maupun dalam bentuk portofolio investasi, menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keaman-an berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perijinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal.


Pendahuluan

Berhasil atau tidaknya implementasi kebijakan, termasuk dalam hal ini kebijakan penanaman modal, sangat ditentukan oleh dua variabel besar, yakni variabel “content of policy” dan ”context of policy”. Variabel “content of policy” antara lain mencakup: (1) sejaumana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Suatu program yang bertujuan merubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relatif lebih sulit diimplementasikan daripada program yang sekedar memberikan bantuan kredit atau beras kepada kelompok masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan variabel “context of policy” (lingkungan kebijakan) mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
_____________________________________________
*) Peneliti Madya pada Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LAN

Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada hakekatnya adalah dalam rangka menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif di Indonesia, serta pengaturan penanaman modal secara komprehensif, mengingat hukum penanaman modal yang telah berlaku selama kurang lebih 40 (empat puluh) tahun perlu diganti karena tidak sesuai lagi dengan tantangan dan kebutuhan untuk mempercepat perkembangan perekonomian nasional. Berbagai kebijakan penanaman modal tersebut antara lain: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kesemua peraturan perundangan tersebut merupakan dasar hukum bagi kegiatan penanaman modal di Indonesia selama ini.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang selama ini menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain dengan melalui sinkronisasi paket kebijakan penananamn modal, perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efesien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha.
Sinkronisasi kebijakan penanaman modal terkait dengan upaya-upaya penyelarasan terhadap kebijakan-kebijakan sektoral seperti pasar modal, pertambangan, industri, kehutanan, pertanian, perkebunan, dan transportasi serta penyelarasan Perda-Perda terkait dengan Pajak dan Retribusi Daerah yang dapat menghambat peningkatan investasi. Sedangkan koordinasi dengan pemerintah daerah harus sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu pemberian kewenangan yang luas dalam hal membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, terkait dengan upaya peningkatan penanaman modal, maka pemerintah daerah bersama-sama dengan instansi atau lembaga, baik swasta maupun pemerintah, harus lebih diberdayakan lagi, baik dalam pengembangan peluang potensi daerah maupun dalam koordinasi promosi dan pelayanan penanaman modal di daerah.
Melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan akselerasi implementasi paket kebijakan penanaman modal setelah dikeluarkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yaitu: (1) kebijakan-kebijakan terkait dengan penanaman modal; (2) implementasi kebijakan penanaman modal; dan (3) realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA), serta (4) beberapa usulan konkrit dalam meningkatkan penanaman modal.


Kebijakan Bidang Penanaman Modal

Potensi Indonesia bagi investasi sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran (produksi) maupun sisi permintaan. Dari sisi penawaran, harus dibedakan antara potensi jangka pendek dan potensi jangka panjang. Potensi jangka pendek yang masih dapat diandalkan oleh Indonesia tentu adalah masih tersedianya banyak sumber daya alam (SDA), termasuk komoditas-komoditas pertambangan dan pertanian, dan jumlah tenaga kerja yang sangat besar. Sedangkan potensi jangka panjang adalah pengembangan teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Sedangkan dari sisi permintaan, ada dua faktor utama yakni jumlah penduduk dan pendapatan riil per kapita. Kedua faktor tersebut secara bersama menentukan besarnya potensi pasar, yang berarti juga besarnya potensi keuntungan bagi para investor.
Mengingat potensi Indonesia yang begitu besar bagi peningkatan investasi tersebut, maka untuk memacu tingkat investasi di Indonesia, maka pada tanggal 1 November 2006 Presiden Yudhoyono mengajak kembali para investor asing untuk kembali membangun Indonesia disaat pembukaan Indonesia Infrastructure Conference & Exhibition (IICI) 2006 di Jakarta Convention Centre (JCC).
Untuk mendukung upaya peningkatan investasi sebagaimana tersebut di atas, pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan penanaman modal berupa Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal beserta berbagai kebijakan pendukung lainnya, yaitu: (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu; dan (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2007 tentang Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah tertentu.
Adapun berbagai kebijakan penanaman modal yang selama ini menjadi dasar hukum penanaman modal di Indonesia, antara lain sebagai berikut:
Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 jo. No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing (PMA);
Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo. No. 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN);
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 jo. No. 83 Tahun 2001 tentang Kepemilikan Saham Asing Dalam PMA;
Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 jo. No. 118 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang dinyatakan Terbuka/Tertutup;
Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981 jo. No. 28 Tahun 2004 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM);
Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka untuk Menengah Atau Besar dengan Syarat Kemitraan.
Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap;
Keputusan Kepala BKPM No. 57/SK/2004 jo. No. 70/SK/2004 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Dalam Rangka PMA/PMDN;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
10. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu.
12. Peraturan-Peraturan Sektor/Teknis dan Peraturan Daerah (Perda).

Sebagai upaya untuk mensinkronkan berbagai kebijakan bidang penanaman modal, telah ditetapkan pembagian urusan pemerintahan pada bidang kebijakan penanaman modal antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana dapat terlihat pada Tabel 1 berikut:













TABEL I
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENANAMAN MODAL
SUB BIDANG KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL
ANTARA PEMERINTAH PUSAT, PEMERINTAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA


SUB BIDANG


PEMERINTAH


PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA























Kebijakan Penanaman Modal


1. Penetapan kebijakan pengembangan penanaman modal Indonesia dalam bentuk rencana strategis nasional berdasarkan program pembangunan nasional.

2. Penetapan pedoman, pembinaan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal skala nasional.

3. Koordinasi, penetapan dan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang penanaman modal meliputi:
a. Bidang usaha yang tertutup.
b. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu.
c. Bidang usaha yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional sesuai peraturan perundang-undangan.
d. Pemetaan investasi Indonesia, potensi sumber daya nasional termasuk pengusaha kecil, menengah dan besar.
e. Penetapan pemberian insentif fiskal dan non fiskal.


1. Penetapan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah provinsi dalam bentuk rencana strategis daerah berdasarkan program pembangunan daerah, berkoordinasi dengan pemerintah.

2. Penetapan pedoman, pembinaan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal skala provinsi, berkoordinasi dengan pemerintah.

3. Koordinasi, penetapan dan pelaksanaan kebijakan daerah provinsi di bidang penanaman modal meliputi:
a. Penyampaian usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
b. Penyampaian usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan tertentu.
c. Penyampaian usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi dalam skala provinsi sesuai peraturan perundang-undangan.


1. Penetapan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah kabupaten/kota dalam bentuk rencana strategis daerah berdasarkan program pembangunan daerah kabupaten/kota, berkoordinasi dengan provinsi.

2. Penetapan pedoman, pembinaan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal skala kabupaten/kota, berkoordinasi dengan provinsi.

3. Koordinasi, penetapan dan pelaksanaan kebijakan daerah kabupaten/kota di bidang penanaman modal meliputi:
a. Penyampaian usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
b. Penyampaian usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan tertentu.
c. Penyampaian usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi di kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.





SUB BIDANG


PEMERINTAH


PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA



d. Pemetaan investasi daerah provinsi dan potensi sumber daya daerah terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha kecil, menengah, dan besar berdasarkan masukan dari daerah kabupaten/kota.

e. Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi kewenangan provinsi.

4. Penetapan peraturan daerah tentang penanaman modal di provinsi dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.


d. Pemetaan investasi daerah kabupaten/kota dan identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/kota terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha kecil, menengah, dan besar.

e. Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

4. Penetapan peraturan daerah tentang penanaman modal di kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.



Tataran Implementasi

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada tahun 2007, maka Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjadi sebuah lembaga pemerintah yang menjadi koordinator kebijakan penanaman modal, baik koordinas antar instansi pemerintah, pemerintah dengan Bank Indonesia, serta pemerintah dengan pemerintah daerah maupun pemerintah daerah dengan pemerintah daerah. BKPM juga diamanatkan sebagai badan advokasi bagi para investor, misalnya menjamin tidak adanya ekonomi biaya tinggi.
Untuk memberikan kemudahan dan kepastian terhadap calon investor dalam pengajuan persetujuan/perizinan dalam rangka pendirian Perusahaan PMDN dan PMA di Indonesia, BKPM telah menyusun alur pengajuan persetujuan/perizinan pendirian perusahaan PMDN dan PMA sebagaimana terlihat pada Bagan 1 berikut:
BAGAN 1
ALUR PENGAJUAN PERSETUJUAN/PERIZINAN PENDIRIAN
PERUSAHAAN PMDN DAN PMA















Di samping menetapkan alur pengajuan persetujuan/perizinan pendirian perusahaan PMDN dan PMA, BKPM juga telah menetapkan durasi (jangka waktu) proses penyelesaian setiap jenis aplikasi/permohonan PMA/PMDN sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2
Jenis dan Waktu Perizinan
Bidang Investasi
Jenis Layanan
Perizinan
Lama Waktu
Surat Persetujuan PMA/PMDN
10 Hari
Izin-izin Pelaksanaan di BKPM
- Penerbitan APIT
- Penerbitan RPTK
- Rekomendasi Visa Tenaga Kerja Asing untuk Imigrasi (TA.01)
- Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA)
- Surat Persetujuan Pabean Barang Modal/Bahan Baku

5 Hari
4 Hari


4 Hari

4 Hari


14 Hari
Surat Persetujuan Perubahan
- Kepemilikan Saham PMA
- Investasi dan Sumber Pembiayaan
- Perubahan Status
- Surat Persetujuan Merger

5 Hari

5 Hari
7 Hari
10 Hari
Penerbitan Izin Usaha Tetap
7 Hari
Penerbitan surat-surat persetujuan dan izin-izin pelaksanaan penanaman modal yang dikeluarkan oleh BKPM tidak dipungut biaya.

Walaupun berbagai upaya telah dilakukan baik berupa Paket Kebijakan Penanaman Modal maupun kemudahan-kemudahan dalam pengurusan administrasi perizinan penanaman modal, namun demikian tidaklah mudah mendapatkan kepercayaan dari para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, mengingat masih terdapat persoalan-persoalan yang dapat menghambat arus investasi ke Indonesia. Adapun persoalan-persoalan tersebut antara lain menyangkut peraturan perundangan, keamanan, politik, sosial, penegakan hukum, serta faktor birokrasi terkait dengan perizinan bidang investasi.
Persoalan terkait dengan peraturan perundangan yaitu adanya tumpang tindih antara kebijakan pusat dengan kebijakan daerah (Perda) menyangkut perizinan investasi. Berkaitan dengan hal tersebut, sampai dengan Juli 2007, dalam rangka sinkronisasi kebijakan Pemerintah c.q Departemen Dalam Negeri telah membatalkan 100 Peraturan Daerah (Perda) yang dinilai melanggar peraturan di atasnya. Dan sebagian besar Perda yang dibatalkan tersebut adalah Perda retribusi dan pajak daerah. Perda retribusi antara lain retribusi izin bidang usaha industri dan perdagangan serta retribusi izin pendirian perusahaan. Dengan demikian, sejak tahun 2002 hingga 2007, Pemerintah telah membatalkan 694 Perda dari ribuan Perda yang dievaluasi oleh pemerintah.
Persoalan kemanan juga sangat terkait dengan iklim investasi yang sedang dibangun. Kondisi keamanan terutama di daerah-daerah yang mempunyai potensi sumber daya alam yang cukup banyak dan berpotensi menjadi obyek investasi masih relatif belum stabil. Hal ini terlihat masih banyaknya tindak kejahatan baik yang berada wilayah rawan konflik maupun di wilayah-wilayah dimana para investor menanamkan modalnya serta kejahatan-kejahatan di wilayah perairan Indonesia yang sering kali mengganggu jalur operasional pengangkutan bahan baku industri maupun aktivitas ekspor impor.
Kondisi politik yang belum sepenuhnya stabil dan masih pada tataran mencari format demokrasi yang mapan seperti Indonesia saat ini, kadang kala masih diwarnai ketidak pastian politik. Kondisi seperti ini juga sangat mempengaruhi iklim investasi dan menjadi pertimbangan utama bagi para investor asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia.
Persoalan sosial yang sering muncul adalah demontrasi yang banyak dilakukan oleh para buruh. Dalam konteks perburuhan ada kecenderungan yang sangat kuat dimana pengusaha berusaha untuk melakukan fleksibilitas dengan menggantikan tenaga kerja tetap menjadi tenaga kerja kontrak atau outsourcing guna menghadapi situasi pasar yang sangat kompetitif. Sejumlah pengusaha menganggap bahwa regulasi perburuhan yang lebih fleksibel masih sangat diperlukan. Namun demikian realitas dilapangan menunjukkan bahwa praktek-praktek fleksibilitas ini menghasilkan degradasi kondisi kerja para buruh, tingkat pendapatan buruh serta menciptakan ketidak pastian kerja dan ketidak pastian kesejahteraan buruh.
Hambatan lain yang cukup serius yang dihadapi para investor dalam menanamkan modalnya dan menjalankan usahanya yaitu bersumber dari ketidak pastian hukum yang ditimbulkan oleh praktek peraturan-peraturan daerah yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah. Meningkat pesatnya jumlah perda retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah tanpa melibatkan stakeholders secara representatif dalam proses perumusannya menimbulkan beban ekonomi biaya tinggi.
Lemahnya arus investasi ke Indonesia selama ini, juga disebabakan karena sistem birokrasi yang berbelit. Soal pengurusan perijinan misalnya, di Indonesia masih melalui proses panjang dan waktu yang lama, yaitu sekitar 150 hari. Dibanding dengan Vietnam yang cuma 30 hari, tentu membuat Indonesia tidak kompetitif sebagai tempat menanamkan modalnya. Di samping itu juga masih tingginya pungli oleh aparat birokrasi terkait dengan pemberian berbagai jenis pelayanan investasi.
Berbagai kondisi tersebut di atas tentu saja ikut mempengaruhi buruknya iklim investasi di Indonesia secara umum. Gambaran buruknya iklim investasi tersebut, khususnya pada beberapa sektor/bidang investasi ditunjukkan dari beberapa hasil survey, antara lain Fraser Institute (2007) yang menyatakan bahwa iklim investasi bidang pertambangan di Indonesia dinilai penuh ketidakpastian. Berdasarkan data yang dikeluarkan Fraser Institute tersebut diketahui bahwa dari segi kepastian kebijakan pertambangan Indonesia ada diperingkat ke-55 dari 65 negara yang memiliki sumber daya mineral. Sampai saat ini, usaha pertambangan masih menggunakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967. Disamping itu sejumlah aturan kehutanan dan lingkungan hidup yang dikeluarkan setelah tahun 1998 tidak sinkron dengan Undang-Undang Pertambangan. Selain masalah kehutanan dan lingkungan hidup tersebut, pelaksanaan otonomi daerah juga ikut memunculkan ketidakpastian. Ada Kepala Daerah yang mengeluarkan kuasa pertambangan atas wilayah yang oleh pemerintah pusat sudah dikeluarkan izin prinsipnya untuk kontrak karya.
Selanjutnya hasil survei Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEMUI) tentang perkembangan iklim investasi indonesia terhadap 589 perusahaan baik yang berada di Medan, Jabodetabek, Semarang, Surabaya dan Makassar pada bulan September 2007, yang menunjukkan bahwa dari sisi proses kepabeanan di jalur hijau (jalur untuk importir yang mendapatkan berbagai kemudahan Ditjen Bea dan Cukai) semakin cepat, yaitu yang semula 4,5 hari pada pertengahan 2006 menjadi 3,1 hari pada 2007. Sedangkan di jalur merah turun dari 7,3 hari pada pertengahan 2006 menjadi 5,9 hari pada 2007. Namun yang mengejutkan adalah jumlah responden yang menyatakan tidak pernah memberikan suap kepada petugas justru menurun. Artinya bahwa dari aspek pelayanan sudah ada perbaikan, akan tetapi frekuensi terjadinya suap justru semakin tinggi meskipun nilai suapnya tidak besar. Ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang harus membayar suap, karena ada eficiency grease (biaya yang dikeluarkan sebagai pelicin) untuk memperlancar proses kepabeanan. Artinya bahwa pengusaha bersedia membayar pelicin kalau prosesnya lebih gampang dan cepat.
Kemudian terkait dengan faktor kemudahan di Indonesia, dimana kemudahan usaha di Indonesia masih tertinggal sesuai dengan Laporan International Finance Corporation (IFC) tentang “Doing Business 2008” dimana Indonesia menduduki peringkat 123 dari 178 negara di seluruh dunia. Ditingkat Asia Singapura selama dua tahun berturut-turut (2006, 2007) menduduki peringkat pertama. Sementara Hongkong saat ini diperingkat 4, Malaysia peringkat 24, dan Vietnam peringkat 83. Countri Manager IFC Adam Sack mengatakan, jika Indonesia berhasil mengimplementasikan berbagai kebijakan perbaikan iklim usaha/investasi yang telah dikeluarkan dalam beberapa paket kebijakan ekonomi, maka perubahan signifikan bisa didapatkan. Laporan International Finance Corporation (IFC) yang terkait dengan tingkat kemudahan usaha, dimana Indonesia berada pada peringkat 123 tersebut, pada hakekatnya adalah sejalan dengan hasil survey yang dilakukan oleh LPEMUI dimana pada intinya perbaikan iklim investasi di Indonesia masih sangat kecil.
Survey UNTAD (2004) dengan judul World Investment Report 2004, mencatat peringkat Indonesia berada dalam papan terbawah nomor 2 dari 140 negara dilihat dari indeks kinerja investasi. Salah satu unsur yang paling buruk adalah waktu untuk mengurus ijin investasi yang masih dikeluhkan terlalu lama yaitu (150) hari untuk memulai bisnis baru, prosedur ekspor yang lambat dan kompleks sehingga membuat biaya logistik dan transpor menjadi tidak kompetitif, ditambah korupsi yang masih berlanjut di bea cukai dan pelabuhan. Disamping itu, dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan daerah (PAD), pemerintah daerah menerapkan beberapa pungutan, pajak, sumbangan sukarela dan pembatasan-pembatasan yang ditujukan kepada investor dan kegiatan bisnis.
Kondisi buruk iklim investasi di Indonesia juga diperparah adanya perbedaan persepsi antara pihak pemerintah dengan DPR terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penetapan Batam, Bintan dan Karimun sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, sehingga terjadi adanya Penundaan Free Trade Zone/FTZ) tersebut. Kalangan DPR menilai penetapan Batam, Bintan, dan Karimun sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang diatur dengan Perpu tersebut akan menimbulkan konflik hukum karena bertentangan dengan UUD 1945, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, serta UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebaliknya pemerintah meyakini tidak terjadi pertentangan antara Perpu No. 1/2007 dan UU No. 32 Tahun 2004. Perbedaan persepsi tersebut secara signifikan tentu berpengaruh terhadap ketertarikan investor asing untuk menanamkan modalnya terutama di kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas tersebut.
Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Realisasi persetujuan penanaman modal di Indonesia sejak tahun 1998 – 2002 dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut:
TABEL 3
PERKEMBANGAN PERSETUJUAN PENANAMAN MODAL DI INDONESIA
SEJAK TAHUN 1989 – 2002
TAHUN / Year
PMDN / Domestic of Investment
P M A / Foreign of Investment
PROYEK / Project
NILAI / Value
(Rp. Milyar/Billion)
PROYEK / Project
NILAI / Value
(US$. Juta/Million)
1998
320
57.938,3
1.034
13.585,5
1999
228
53.120,2
1.174
10.892,2
2000
355
92.410,4
1.524
15.426,2
2001
264
58.816,0
1.333
15.055,9
2002
181
25.262,3
1.135
9.744,1
Sumber: BKPM 2007

Sedangkan data realisasi persetujuan Penanaman modal Asing (PMA) menurut negara asalnya sejak tahun 1998 – 2002 dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut:

TABEL 4
PERKEMBANGAN PERSETUJUAN PMA MENURUT NEGARA ASAL,
SEJAK TAHUN 1998 - 2002

No.
Sektor/Sector
1998
1999
2000
2001
2002
I
P
I
P
I
P
I
P
I
P
I.
AMERIKA / America
1.178,9
108
798,4
51
146,1
71
254,5
44
81,5
42
1
AMERIKA / USA
1.017,7
46
568,3
46
136,7
54
243,1
37
72,8
37
2
KANADA / Canada
6,2
50
8,1
3
3,1
13
2,4
5
8,4
4
3
PANAMA / Panama
88,9
4
-
1
4,3
-
5,9
-
-
1
4
BAHAMA / Bahama
-
1
96,0
-
-
-
-
-
-
-
5
CAYMAN ISLAND / Cayman Island
66,1
2
2,6
1
2,0
2
2,8
-
-
-
6
BERMUDA / Bermuda
-
1
2,8
-
-
-
-
-
-
-
7
BRASIL / Brazilia
-
1
119.8
-
-
-
-
-
-
-
8
MEXICO / Mexico
-
-
-
-
-
1
0.3
-
-
-
9
BAHAMAS / Bahamas
-
2
0,6
-
-
1
-
-
-
-
10
ISLE OF MAN / Isle of Man
-
1
0,2
-
-
-
-
-
-
-
11
ARGENTINA / Argentina
-
-
-
-
-
-
-
2
0,3
-
II.
EROPA / Europe
11.746,3
162
5.308,8
229
731,8
222
5.938,5
200
923,1
167
12
AUSTRIA / Austria
3,7
-
-
1
2,2
3
0,5
1
0,1
2
13
BELGIA / Belgium
16,5
10
11,5
10
9,5
1
5,9
1
0,2
2
14
DENMARK / Denmark
0,6
2
4,9
4
0,6
6
37,1
3
17,9
2
15
PERANCIS / France
456,6
8
7,5
21
22,4
27
64,7
21
14,3
17
16
ITALIA / Italy
23,8
8
7,3
11
3,2
16
7,9
13
3,1
4
17
BELANDA / Netherland
319,5
33
405,7
47
48,8
43
1.159,3
36
88,7
26
18
NORWEGIA / Norway
7,7
3
2,9
1
0,3
2
1,6
3
1,8
2
19
JERMAN / German
4.467,8
28
71,0
39
87,2
28
959,5
32
42,6
14
20
SWEDIA / Sweden
4,1
1
4,4
6
5,6
3
0,5
8
17,2
-
21
INGGRIS / United Kingdom
5.473,6
49
4.745,3
72
507,0
79
3.645,5
73
722,9
76
22
SWISS / Switzerland
73,4
8
35,1
9
42,1
5
42,2
3
11,7
10
23
LUXEMBURG / Luxemburg
887,1
-
-
-
-
-
-
1
1,6
-
24
SPANYOL / Spain
3,6
2
3,2
3
1,2
2
12,7
2
0,7
3
25
FINLANDIA / Finland
1,8
2
5,4
1
-
-
-
1
0,1
-
26
CEKOSLOVAKIA / Cechoslovakia
-
1
0,2
1
0,1
2
0,3
-
-
2
27
JIBLARTAR / Gibraltar
0,1
-
-
--
-
-
-
-
-
-
28
IRLANDIA / Ireland
-
-
-
-
-
1
0,2
-
-
-
29
RUSIA / C I S
-
-
-
1
0,2
1
0,1
1
0,1
2
30
HUNGARIA / Hungary
-
1
0,2
-
-
-
-
-
-
-
31
LICHTENSTEN / Lichtensten
0,2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
32
YUNANI / Greece
-
1
0,1
-
-
2
0,3
-
-
2
33
PORTUGAL / Portugal
-
1
0,2
-
-
1
0,2
-
-
-
34
UZBEKISTAN / Uzbekistan
0,2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
35
YOGOSLAVIA / Yogoslavia
-
1
0,2
-
-
-
-
-
-
-
36
SLOVENIJA / Rep. of Slovenija
-
2
0,7
-
-
-
-
-
-
-
37
SCOTLANDIA / Scotland
-
1
3,0
-
-
-
-
-
-
-
38
ISLANDIA / Iceland
-
-
-
1
0,9
-
-
-
-
-
39
BELARUSIA / Belarusia
-
-
-
1
0,5
-
-
-
-
-
40
TURKEY / Turkey
6,0
-
-
-
-
-
-
1
0,1
2
41
CZECH REPUBLIK / Czech Republic
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
III.
AFRICA / Africa
93,5
10
75,2
18
66,4
39
564,0
31
560,1
30
42
LIBERIA / Liberia
41,5
1
22,2
-
-
-
-
2
27,0
-
43
NIGERIA / Nigeria
1,0
2
0,8
-
-
-
-
3
0.4
3
44
GHANA / Ghana
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
45
MAURITANIA / Mauritius
51,0
2
51,5
9
64,8
20
169,7
18
523,8
19
46
AFRIKA SELATAN / Rep.S.Africa
-
2
0,3
2
0,3
-
-
-
-
-
47
LIBIA / Lybia
-
-
-
1
0,6
1
1.0
-
-
-
48
MAROCO / Maroco
-
-
-
2
0,2
-
-
-
-
-
49
TANZANIA / Tanzania
-
-
-
-
-
11
132.1
2
8,4
-
50
MESIR / Egypt
-
-
-
-
-
3
0.7
-
-
3
51
SOMALIA / Somalia
-
-
-
-
-
1
260,0
-
-
-
52
MALI / Mali
-
1
0,1
2
0,3
1
0,1
2
0,1
1
53
SUDAN / Sudan
-
-
-
1
0,1
1
0.3
1
0,1
1
54
NIGER / Niger
-
-
-
-
-
1
0,1
-
-
-
55
ALJAZAIR / Aljazair
-
-
-
-
-
-
-
1
0,1
-
56
GUINEA / Guinea
-
-
-
-
-
-
-
1
0,1
1
57
KAMERUN / Kamerun
-
1
0,1
-
-
-
-
-
-
-
58
SINEGAL / Sinegal
-
1
0,2
-
-
-
-
-
-
-
59
KONGO / Congo
-
-
-
1
0,1
-
-
1
0,1
2
IV
ASIA / Asia
15.154,7
543
4.717,3
641
6.487,6
874
3.829,0
818
12.209,9
675
60
JEPANG / Japan
5.417,8
78
1.330,7
71
639,9
93
1.954,8
98
772,0
79
61
KOREA SELATAN / South Korea
1.409,4
112
202,4
204
239,0
267
690,0
285
369,3
228
62
KOREA UTARA / North Korea
-
2
0,4
-
0,7
1
0,5
-
-
-
63
HONG KONG / Hong Kong (SAR)
251,0
18
549,1
14
76,9
13
105,4
15
39,7
12
64
TAIWAN / Taiwan
3.419,4
91
165,4
92
1.490,2
73
131,2
63
74,1
34
65
SINGAPURA / Singapore
2.287,6
127
1.308,3
147
756,7
218
542,2
157
1.143,0
155
66
MALAYSIA / Malaysia
2.289,4
63
1.060,2
50
186,1
75
168,5
106
2.241,0
66
67
THAILAND / Thailand
19,1
4
2,8
2
8,4
6
6,7
4
3,0
6
68
PHILIPINA / Philipine
-
1
62.5
5
4,9
6
7,4
6
2,0
3
69
INDIA / India
5,9
20
14,9
20
12,5
31
59.0
28
6,6
34
70
BRUNEI DAR. / Brunei Dar.
-
-
-
-
-
1
0,2
-
-
-
71
PAKISTAN / Pakistan
-
4
3,8
5
1,6
3
0,3
8
1,3
8
72
SRILANGKA / Ceylon
11.9
2
1,0
-
-
2
0,2
2
0,2
1
73
YORDANIA / Yordan
-
3
1,2
4
1,1
-
-
4
0,6
1
74
R.R.CHINA / China
23.5
6
7,6
15
57,9
43
153,9
34
6.054,8
40
75
PAPUA NUGINI / Papua N. Guines
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
76
SAUDI ARABIA / Saudi Arabia
13.7
4
4,0
5
3.007,3
10
2.0
5
1.501,9
2
77
YAMAN / Yamen Arab Republic
-
2
0,5
-
-
-
-
-
-
2
78
KUWAIT / Kuwait
-
1
0,2
-
-
-
-
-
-
1
79
IRAN / Iran
-
1
0,1
1
0,1
-
-
-
-
-
80
IRAK / Irak
-
-
-
1
2,5
2
0,3
-
-
-
81
BAHRAIN / Bahrain
-
-
-
-
-
1
0,1
-
-
-
82
BANGLADESH / Bangladesh
-
1
0,1
-
-
2
0,3
3
0,4
-
83
ISRAEL / Israel
-
-
-
-
-
1
4,4
-
-
-
84
SYRIA / Syria
-
-
-
-
-
2
1,2
-
-
1
85
MYANMAR / Myanmar
-
-
-
-
-
1
0,1
-
-
-
86
EMIRAT ARAB / Emirat Arab
-
-
-
1
0.1
2
0,2
-
-
1
87
SURIAH / Suriah
-
-
-
-
-
1
0,1
-
-
-
88
LEBANON / Lebanon
-
1
0,1
-
-
-
-
-
-
1
89
NEPAL / Nepal
-
2
2,0
-
-
-
-
-
-
-
90
VIETNAM SELATAN / Vietnam
-
-
-
1
0,6
-
-
-
-
-
91
QATAR / Qatar
-
-
-
2
0,3
-
-
-
-
-
92
SIPRUS / Siprus
-
-
-
1
0,8
-
-
-
-
-
V
AUSTRALIA / Australia
187,5
72
85,1
63
2.459,2
73
62,0
48
255,5
44
93
AUSTRALIA / Australia
187,2
69
84,5
61
2.458,9
70
50,2
48
255,5
39
94
SELANDIA BARU / New Zealand
0,3
3
0,6
1
0,1
3
11,8
-
-
4
95
SAMOA BARAT / New Zeland
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
96
NAURU / Nauru
-
-
-
1
0,2
-
-
-
-
-
VI
GABUNGAN NEGARA / Joint Countries
5.461,2
139
2.600,7
172
1.001,1
245
4.778,2
192
1.025,8
177

JUMLAH / Total
33.816,1
1.034
13.585,5
1.174
10.892,2
1.524
15.426,2
1.333
15.055,9
1.135
Sumber: BKPM 2007 .





Sedangkan perkembangan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 2003 sampai dengan 2006 dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut:

TABEL 5
PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA


Jenis Investasi

T a h u n

2003

2004

2005

2006

PMDN
(Rp Triliun)

11, 89

15,26

30,66

20,79

PMA
(US$ Miliar)

5,45

4,6

8,91

5,98

Sumber: BKPM 2007 (diolah).

Beberapa usulan konkrit dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui beberapa aksi korektif yang dianjurkan berdasarkan survei, dapat dilihat Tabel 5 berikut:

Table 5
Beberapa Aksi Korektif yang Dianjurkan dan Ditunggu
oleh Pelaku Usaha/Bisnis


Kendala
Masalah
Aksi yang dianjurkan
Penanggung jawab

“Grease money”di jalan, pelabuhan, memproses

· Praktek korupsi begitu sering terjadi sehingga menilbukan biaya ekstra bagi dunia bisnis.
· Perusahaan yang berorien-tasi ekspor mengalami kesulitan dalam menyalur-kan keluhan secara formal baik lewat jalur legal atau administratif.


· Berdasarkan UU No. 28/1999, pejabat harus melaporkan kekayaannya. Hasil audit atas laporan tsb, bila diketemukan adanya indikasi korupsi, maka harus dihukum berat.


Menteri Perhubu-ngan, Menteri Hu-kum dan HAM, Kapolri, pemerintah daerah,








Kendala
Masalah
Aksi yang dianjurkan
Penanggung jawab


Ijin usaha/bisnis, bea-cukai

Meningkatnya jumlah pu-ngutan, baik resmi maupun liar, sepanjang jalur dis-tribusi dan pelabuhan.


· Meningkatkan kapasitas dan kinerja petugas penegak hukum.
· Menyediakan mekanisme dan saluran untuk komplain bagi bisnis tentang pungli maupun pungutan di atas tarif resmi.
· Menghapuskan berbagai bia-ya ekstra dengan mempro-mosikan transparansi dan “Good Governance”.

Pelindo, KPK (Ko-misi Pemberanta-san Korupsi), Men-ko Perekonomian, Jaksa Agung

ETPIK (Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan)

Instruksi dari Menteri Perdagangan dan Perin-dustrian (No.32/MMP/Kep/
1/2003) tentang ETPIK muncul sebagai ham-batan peraturan utama bagi para ekportir di Bali, Jepara, dan Surabaya karena mere-ka bukan produsen produk kayu melainkan pedagang.


· Meski ETPIK didesain untuk mengurangi penebangan liar, tetapi pada kenyataannya, illegal logging tetap ada.
· Beberapa aksi dibutuhkan: (1) Meninjau ulang kebijak-an ETPIK; (2) Mendesen-tralisasi BRIK yang ada di Jakarta ke tingkat provinsi; (3) Mengurangi illegal logging dengan meningkatkan kinerja polisi hutan dan Perhutani; (4)Membolehkan pemerintah provinsi untuk menerbitkan ETPIK.


Menteri Kehu-tanan, Pemerin-tah Provinsi, Menteri Perda-gangan, Menteri Perindustrian.


PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Adanya ketakutan bah-wa Peraturan Pemerin-tah (PP) No. 63/2003 tentang pengenaan PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM) di kawasan berikat mengurangi daya tarik dan kondusifitas iklim bisnis di daerah (misalnya di Batam).

· Pemerintah harus lebih banyak mensosialisasikan peraturan ini.
· Kebijakan yang transparan harus menjadi aspek utama dalam penyusunan peraturan.
· Mengkaji ulang dampak PPN dan PPn BM pada tingkat daya saing perusahan karena peranan bahan baku impor masih substansial.


Menteri Keuang-an, Badan Otori-ta Batam, Pemda, Menteri Perda-gangan, Menteri Perindustrian.


Upah Minimum Regional/
Kota/Kabu-paten/Provin-si
(UMK/P)
• Perubahan Upah Minimum Regional yang dinilai terlalu memberatkan perusahaan.
• Ketidakkonsistenan antara pemerintah-an pusat dan dae-rah.

· Koordinasi dibutuhkan an-tara Pemda dan pemerintah Pusat.
· Mengatur UMK/P berdasar-kan produktivitas tenaga ker-ja dan kemampuan perusaha-an untuk membayar.

Pemda & peme-rintah pusat, Serikat Pekerja, Asosiasi Bisnis.


Sumber: Mudrajad Kuncoro, 2005.

Penutup

Implementasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 sebagai pendorong akselerasi implementasi paket kebijakan bidang penanaman modal
diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif dan dapat meningkatkan realisasi investasi, baik PMA maupun PMDN. Disamping itu dalam rangka menghadapi perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional serta untuk penguatan daya saing perekonomian nasional, perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional. Dengan penciptaan iklim penanaman modal yang kondusif tersebut, diharapkan akan dapat meningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.





















Daftar Pustaka

Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 jo. No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing (PMA);
Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo. No. 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN);
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 jo. No. 83 Tahun 2001 tentang Kepemilikan Saham Asing Dalam PMA;
Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 jo. No. 118 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang dinyatakan Terbuka/Tertutup;
Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981 jo. No. 28 Tahun 2004 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM);
Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka untuk Menengah Atau Besar dengan Syarat Kemitraan.
Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap;
Keputusan Kepala BKPM No. 57/SK/2004 jo. No. 70/SK/2004 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Dalam Rangka PMA/PMDN;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu.
Aryanto Tinambunan, Analisis Faktor-Faktor Pemacu Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkualitas, arya@tinambunan web.id.
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Pelayanan Publik Oleh BKPM, Jakarta, 2007.
FISIP UI dan SPF UNI EROPA, Peraturan Perburuhan dan Investasi Modal: Pilihan antara Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja dan Kepastian Hukum, www.akatiga.org/akatiga@akatiga.org.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEMUI), Hasil Survey Perkembangan Iklim Investasi Indonesia, Jakarta, 2007.
Mudrajat Kuncoro, Menanti Reformasi Iklim Bisnis Di Indonesia, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA No. 55/XXVIII/I/2005
Ricky Arnold Gggili, Profile Foreign Direct Invesment (FDI) di Indonesia, Jakarta, 2006.
Sri Hartati, Mengembalikan Indonesia ke Investasi Global, Jakarta, 2007.

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI MELALUI PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS KINERJA

Oleh:
Marsono *)

Dipublikasikan Dalam Majalah Indonesian Public Administration Review,
Vol 2 Edisi Maret 2008

ABSTRAK
Upaya pemberantasan korupsi yang selama lebih dari 40 tahun telah dilakukan,
sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Sehingga memberantas korupsi harus dilakukan baik secara represif maupun preventif. Secara represif adalah upaya penindakan atas pelaku korupsi (dalam kerangka hukum nyata) yang dilakukan dengan keras dan tegas disertai dengan upaya maksimal pengembalian kerugian negara yang ditimbulkan. Hal ini diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan calon pelaku lain berfikir dua kali untuk melakukan korupsi. Sedangkan secara preventif, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan manajemen berbasis kinerja secara baik dan konsisten, yang diyakini secara preventif dapat meminimalisir tindak pidana korupsi.


Pendahuluan

Reformasi administrasi publik yang terjadi selama kurun waktu 25 tahun terakhir ini pada dasarnya berfokus pada konsep manajemen berbasis kinerja dan efektivitas. Gerakan pembaharuan administrasi publik yang disebut New Public Management (NPM) atau reinvention adalah upaya meningkatkan kinerja. Reformasi administrasi publik yang terus bergulir tersebut sangat dipengaruhi oleh konsep New Publik Management (NPM) yang diperkenalkan oleh Christopher Hood pada tahun 1991. Konsep NPM terkait dengan manajemen kinerja sektor publik, karena pengukuran kinerja menjadi salah satu prinsip NPM. Dalam fase perkembangan selanjutnya konsep Reinventing Government telah merubah fokus akuntabilitas dari orientasi pada masukan (Input Oriented Accauntabilitiy) dan proses kearah akuntabilitas pada hasil (Result Oriented Accountability).

Selanjutnya terkait dengan paradigma penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) telah menjadi trend masyarakat dunia, bahkan paradigma tersebut telah menjadi sebuah prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita dalam berbangsa dan bernegara. Dalam mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara tersebut, peranan pemerintah dalam penyelenggaraan negara pada umunya mencakup dua kelompok fungsional, yaitu: (a) dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum, yang antara lain meliputi penciptaan dan pemeliharaan rasa aman dan pengaturan ketertiban, pertahanan dan keamanan, penyelenggaraan hubungan diplomatik, serta pemungutan pajak; (b) dalam rangka penyelenggaraan fungsi pembangunan, seperti pembangunan bangsa serta pembangunan ekonomi dan sosial yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat .

Untuk dapat menyelenggarakan fungsi sebagaimana tersebut di atas, tentu dibutuhkan dukungan berbagai sumber daya dan komitmen dari semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat. Disamping itu pemerintah juga dituntut untuk transparan dan akuntabel dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga benar-benar dapat diwujudkan penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance).

Upaya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tersebut, diperlukan suatu sistem manajemen berbasis kinerja yang mampu mengukur kinerja dan keberhasilan instansi pemerintah, dengan demikian akan tercipta legitimasi dan dukungan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Tanpa adanya sistem manajemen berbasis kinerja yang baik, niscaya akan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, yang pada gilirannya juga akan menghambat terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance).
Manajemen berbasis kinerja merupakan suatu metode untuk mengukur kemajuan program atau aktivitas yang dilakukan organisasi publik/instansi pemerintah dalam mencapai hasil atau outcome yang diharapkan oleh semua pihak (stakeholders). Dalam Performance Management Handbook Departemen Energi USA, manajemen berbasis kinerja didefinisikan sebagai berikut: ”Performance based management is a systematic approach to performance improvement trough an on going process of establishing strategic performance objectives; measuring performance; collecting; analyzing; reviewing; and reporting performance data; and using that data to drive performance improvement” (Manajemen berbasis kinerja merupakan suatu pendekatan sistematik untuk memperbaiki kinerja melalui proses berkelanjutan dalam penetapan sasaran-sasaran kinerja strategik, mengukur kinerja; mengumpulkan; menganalisis; menelaah; dan melaporkan data kinerja serta menggunakan data tersebut untuk memacu perbaikan kinerja).

Selanjutnya Amstrong (1994) menyatakan bahwa manajemen berbasis kinerja berkenaan dengan proses kerja, manajemen, pengembangan dan imbalan yang saling berhubungan. Lebih lanjut dikatakan bahwa manajemen kinerja dapat menjadi suatu kekuatan penggabung yang amat kuat, memastikan bahwa proses tersebut dihubungkan secara tepat sebagai bagian fundamental dari pendekatan manajemen sumber daya manusia yang harus dilaksanakan dalam organisasi.

Selanjutnya menurut Surya Dharma (2005), manajemen berbasis kinerja adalah suatu cara untuk mendapatkan hasil yang lebih baik bagi organisasi, kelompok dan individu dengan memahami dan mengelola kinerja sesuai dengan target yang telah direncanakan, standar dan persyaratan kompetensi yang telah ditentukan. Dengan demikian manajemen berbasis kinerja adalah sebuah proses untuk menetapkan apa yang harus dicapai, dan pendekatannya untuk mengelola dan pengembangan manusia melalui suatu cara yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa sasaran akan dapat dicapai dalam suatu jangka waktu tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Sedangkan pengertian kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan yang dicapai suatu organisasi sesuai dengan target atau sasaran yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Istilah “kinerja” merupakan terjemahan dari kata performance, yang menurut The Scribner-Bantam English Dictionary, terbitan Amerika Serikat dan Canada (1979), berasal dari akar kata “to perform” dengan beberapa “entries” yaitu: (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry out, execute); (2) memenuhi atau melaksanakan kewajiban suatu niat atau nazar (to discharge of fulfill; as vow); (3) melaksanakan atau menyempurnakan tanggungjawab ( to execute or complete an understaking); dan (4) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin (to do what is expected of a person machine).

Selanjutnya dalam Encyclopedia of Public Administration and Public Policy (2003) , disebutkan bahwa kinerja menggambarkan sampai seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil ketika dibandingkan dengan kinerjanya terdahulu (previous performance), dibandingkan dengan organisasi lain (benchmarking), dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan. Untuk dapat melakukan perbandingan tersebut atau pengukuran pencapaian tujuan tersebut, dibutuhkan suatu definisi operasional yang jelas tentang tujuan dan sasaran, output dan outcome kegiatan, dan pendefinisian terhadap tingkat kualitas yang diharapkan dari output dan outcome tersebut, baik secara kuantitatif ataupun secara kualitatif.

Terkait dengan pengertian kinerja, Otley (1999) menyatakan bahwa kinerja mengacu pada sesuatu yang terkait dengan kegiatan melakukan pekerjaan, dalam hal ini meliputi hasil yang dicapai kerja tersebut. Selanjutnya Rogers (1994) berpendapat bahwa kinerja didefinisikan sebagai hasil kerja (outcomes of work), karena hasil kerja memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tujuan-tujuan strategik organisasi, kepuasan pelanggan, dan kontribusi ekonomi. Lebih lanjut pengertian kinerja (kinerja instansi pemerintah) menurut (LAN: 2003) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Oleh karena itu, kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu organisasi dihubungkan visi dan dengan misi yang diemban. Kinerja juga merupakan tingkat efisiensi dan efektivitas serta inovasi dalam pencapaian tujuan oleh pihak manajemen dan unit-unit kerja yang ada dalam organisasi.

Dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa inti dari manajemen berbasis kinerja adalah bahwa manajemen berbasis kinetrja memberikan perhatian terbesarnya kepada hasil atau results, dan karena perhatiannya pada hasil itulah maka fokus manajemen berbasis kinerja adalah “the future”. Akan selalu muncul pertanyaan tentang apa yang diperlukan dan bagaimana bekerja agar mendapatkan hasil yang lebih baik.

Pertanyaan ini tergambar dalam siklus kerja organisasi mulai dari penyusunan perencanaan stratejik dan penganggaran kinerja; pelaksanaannya; pengukuran kinerjanya; evaluasi kinerja; serta penggunaan informasi hasil evaluasi untuk perbaikan. Setiap siklus tidak bersifat statis, selalu dirancang untuk bergerak mengikuti atau bahkan mengantisipasi perubahan.

Perencanaan stratejik. Perencanaan strategik harus mencakup: (a) pernyataan visi, misi, strategi dan faktor-faktor keberhasilan organisasi; (b) rumusan tujuan, sasaran dan uraian aktivitas organisasi; dan (c) cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Rencana strategis yang telah disusun tersebut, lebih lanjut dijabarkan ke dalam Perencanaan Kinerja. Dalam proses perencanaan kinerja didefinisikan seluruh sasaran, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran, yang kemudian diformulasikan dalam Rencana Kinerja.

Penganggaran kinerja. Di dalam Rencana Kinerja dijabarkan dan ditetapkan angka target kinerja tahunan untuk seluruh indikator kinerja yang ada pada tingkat sasaran dan kegiatan. Angka target kinerja tersebut akan menjadi komitmen bagi organisasi untuk mencapainya dalam satu periode tahunan. Selanjutnya dokumen rencana kinerja akan menjadi dasar bagi penyusunan dan pengajuan anggaran kinerja (performance based budgeting) serta sebagai dasar bagi suatu kesepakatan tentang kinerja yang akan diwujudkan (performance agreement) (Ismail Mohamad, dkk; 2004).

Pelaksanaannya. Untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditetapkan dalam perencanaan kinerja, maka dalam pelaksanaannya suatu instansi pemerintah dapat menyusun atau mengeluarkan berbagai kebijakan yang dapat dijadikan acuan dalam pencapaian target kinerja yang telah ditetapkan.

Pengukuran kinerja. Dalam bukunya “The Government Performance Result Act of 1993, James B. Whittaker menyebutkan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas, serta untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran (goals and objectives). Element kunci dan sistem pengukuran kinerja adalah: (a) perencanaan dan penetapan tujuan; (b) pengembangan ukuran yang relevan; (c) pelaporan formal atas hasil; dan (d) penggunaan informasi. Pengukuran kinerja sangat tergantung dengan indikator kinerja yang digunakan. Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/kualitatif yang telah disepakati dan ditetapkan, yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan (ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going), maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi (ex-post). Gambaran secara utuh mengenai kerangka pengukuran kinerja sebagai berikut: (Mahmudi; 2005).



















Siklus Manajemen Berbasis Kinerja

Kebutuhan Masyarakat
(Needs Assessment)



Visi & misi


Tujuan

Sasaran & Inisiatif Strategik, target


Program


Cost (Anggaran)
Cost of Input (Ekonomi)

Input
Cost Efficiency


Efisiensi (Produktivitas)Proses (Implementasi)
Cost Effectiveness


Output
Efektivitas

Outcome
Kepuasan Pelanggan
Net Social Benefit

Benefit

Impact







Evaluasi kinerja.

Evaluasi kinerja diartikan sebagai kegiatan untuk menilai atau melihat keberhasilan dan kegagalan suatu instansi pemerintah atau unit kerja dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang dibebankan kepadanya. Evaluasi kinerja merupakan analisis dan interprestasi keberhasilan atau kegagalan pencapaian kinerja, dan sekaligus sebagai suatu proses umpan balik atas kinerja yang lalu dan mendorong adanya perbaikan kinerja dimasa mendatang. Oleh karena itu, evaluasi kinerja pada dasarnya adalah kegiatan penilaian yang dilandasi semangat internal audit untuk mengukur tingkat pencapaian kinerja organisasi.
Adapun manfaat evaluasi kinerja adalah sebagai berikut: (a) untuk perbaikan perencanaan, strategi, dan kebijakan; (b) untuk pengambilan keputusan; (c) untuk tujuan pengendalian program/kegiatan; dan (d) untuk perbaikan input, proses dan output, serta perbaikan tatanan atau sistem dan prosedur.

Sifat manajemen berbasis kinerja ini menuntut adanya komitmen pimpinan instansi dan penetapan indikator kinerja yang tepat. Pada setiap tingkatan, manajemen berbasis kinerja harus menggambarkan: (1) jajaran pimpinan tahu pasti apa yang menjadi tujuan organisasi; (2) jajaran pimpinan tahu apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan; (3) jajaran pimpinan tahu bagaimana mengukur kemajuan dalam mencapai tujuan, dan (4) jajaran pimpinan dapat mendeteksi dini adanya masalah/hambatan dan mengatasinya.

Saat ini manajemen modern menuntut peran lebih besar dari para manajer/piminan organisasi. Kalau dulu cukup dengan delivery of high quality services that meet the needs of customers and stakeholders, kini tuntutan meningkat menjadi doing more within the constraints of available resources. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa dengan manajemen berbasis kinerja, transparansi; partisipasi, dan akuntabilitas dalam organisasi akan lebih baik.


Konsepsi/Batasan Korupsi

Istilah korupsi berasal dari Bahasa Latin, corruptio, corruptus. Kata tersebut mengandung arti suatu perbuatan buruk, busuk, bejat, dapat disuap, tidak bermoral, dan pasti tidak suci. Sedangkan korupsi dalam Bahasa Arab dikenal istilah riswah, artinya penggelapan, kerakusan, amoralitas, dan segala penyimpangan kebenaran.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) “Korup” berarti buruk, rusak, busuk, suka menerima uang sogok, dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Sedangkan “mengorup” artinya merusak, menyelewengkan (menggelapkan) barang (uang) milik perusahaan (negara) tempat kerjanya. ”Korupsi” penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain, penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi.

Koupsi (corruption) menurut A.S. Hornby (1963) ialah ”the offering and accepting of bribes” (penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap), disamping diartikan juga ”decay” yaitu kebusukan/kerusakan. Yang busuk/rusak ialah moral atau akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi sesuai arti corruptus atau corruptio a.l. moral pervension (kerusakan moral).

Selanjutnya David M. Chalmers dalam Encyclopedia Americana, Americana Corporation, Volume 8,p. 22 menyinggung juga mengenai suap ini dengan memasukkan dalam pengertian korupsi ”Disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public interest and welfare, with or without the implied payment of money, is usually considered corrupt” (Pembayaran samar-samar dalam bentuk pemberian hadiah-hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah-hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh (kedudukan) sosial dan hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi).

Lebih lanjut dikatakan ” ......... financial manipu-lations and decisions injurious to the economy. The term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies .........” (manipulasi-manipulasi dan keputusan-keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian. Istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan-kesalahan dalam pengambilan keputusan oleh pejabat-pejabat yang menyangkut bidang-bidang perekonomian umum).

Disamping pengertian korupsi sebagaimana tersebut di atas, David M. Chalmers juga menguraikan bentuk korupsi yang lain, yaitu yang dinamakan ”political corruption” (korupsi politik). Sedangkan yang dimaksud korupsi politik ialah ”Electoral corruption includes purchase of votes with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation, an inteference with freedom of election. Corruption in office involves sale of legislative votes, administrative of judicial decision, or governmental ap-pointment” (Korupsi pada pemilihan termasuk memperoleh suara dengan uang, janji-janji tentang jabatan atau hadiah-hadiah khusus, paksaan, intimidasi dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara-suara dalam legislatif, keputusan administratif atau keputusan pengadilan, atau pengangkatan/penunjukan oleh pemerintah).

Sedangkan pengertian korupsi menurut Sleifer and Vishny (1993) adalah penjualan barang-barang milik pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntungan pribadi. Sebagai contoh, pegawai negeri sering menarik pungutan liar dari perizinan, lisensi, bea cukai, atau pelarangan masuk bagi pesaing. Para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya atau untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya. Pada kasus ini, karena korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi, korupsi memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan.

Selanjutnya S.H. Glendoh (1997) berpendapat bahwa korupsi direalisasi oleh aparat birokrasi dengan perbuatan menggunakan dana kepunyaan negara untuk kepentingan pribadi yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum. Korupsi tidak selalu identik dengan penyakit birokrasi pada instansi pemerintah, pada instansi swastapun sering terjadi korupsi yang dilakukan oleh birokrasinya, demikian juga pada instansi koperasi. Korupsi merupakan perbuatan tidak jujur, perbuatan yang merugikan dan perbuatan yang merusak sendi-sendi kehidupan instansi, lembaga, korps dan tempat bekerja para birokrat. Dalam kaitan ini korupsi dapat berpenampilan dalam berbagai bentuk, antara lain kolusi, nepotisme, uang pelancar, dan uang pelicin.

Selanjutnya Glendoh menyebutkan bahwa kolusi adalah sebuah persetujuan rahasia diantara dua orang atau lebih dengan tujuan penipuan atau penggelapan melalui persekongkolan antara beberapa pihak untuk memperoleh berbagai kemudahan untuk kepentingan mereka yang melakukan persekongkolan. Sedangkan nepotisme adalah kebijakan mendahulukan saudara, sanak famili serta teman-teman. Nepotisme dapat tumbuh subur di Indonesia karena budaya partrimonial yang lengket sejak jaman dahulu. Sedangkan uang pelancar sering timbul karena tata cara kerja dan kebiasaan dalam kantor-kantor sangat berbelit-belit dan berlambat-lambat, sehingga keinginan untuk menghindari kelambatan ini merangsang pertumbuhan kebiasaan-kebiasaan tidak jujur. Uang pelicin merupakan bentuk korupsi yang sudah umum terutama dalam hubungan dengan hal-hal pemberian surat keterangan, surat ijin dan sebagainya. Yang mereka inginkan adalah supaya berkas-berkas surat dan komunikasi cepat jalannya, sehingga keputusan dapat diambil dengan cepat pula.

Berkaitan dengan korupsi, Syed Hussain Alatas (1987) membedakan jenis-jenis korupsi menurut tipologinya sebagai berikut:
(1) Transactive corruption. Adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dan pemerintah.
(2) Exortive corruption. Merupakan jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.
(3) Investive corruption. Yaitu pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
(4) Nepotistic corruption. Adalah penunjukkan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
(5) Defensive corruption. Perilaku korupsi dengan pemerasan, korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
(6) Autogenic corruption. Perbuatan korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri. Misalnya dalam hal pembuatan laporan keuangan yang tidak benar.
(7) Supportive corruption. Tindakan-tindakan yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada. Misalnya menyewa preman untuk berbuat jahat, menghambat pejabat yang jujur dan cakap agar tidak menduduki jabatan tertentu dan sebagainya.

Dari uraian tentang pengertian korupsi tersebut diatas, Baharuddin Lopa (1997) berpendapat bahwa pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah:
”Suatu tindak pidana penyuapan dan perbuatan melawan hukum yang merugikan/dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat. Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi di bidang materiil, sedangkan korupsi di bidang politik dapat berwujud berupa memanipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan dan atau campur tangan yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih, komersialisasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif di bidang pelaksanaan pemerintahan”.

Lebih lanjut Baharuddin Lopa menyatakan bahwa terdapat 11 (sebelas) faktor penyebab korupsi di Indonesia, yaitu: (1) kerusakan moral; (2) kelemahan sistem; (3) kerawanan sosial ekonomi; (4) tindakan hukum yang belum tegas; (5) seringnya pejabat minta sumbangan; (6) pungli; (7) kurangnya pengertian tentang tindak pidana korupsi; (8) penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang serba tertutup; (9) lemahnya kontrol DPR; (10) lemahnya perundang-undangan dan gabungan dari sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi.

Definisi korupsi secara spesifik memang tidak muncul secara ekplisit dalam berbagai peraturan perundang-undang yang mengatur tentang korupsi. Begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga tidak memberikan rumusan tegas tentang korupsi. Namun demikian berdasarkan rumusan pasal-pasal yang ada dalam Undang-undang tersebut, sesungguhnya korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Suatu perbuatan setiap orang, dalam arti orang perseorangan atau korporasi, yang melawan hukum dengan maksud atau tujuan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Perbuatan melawan hukum tersebut dapat berupa penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan, kesempatan, sarana atau kedudukan yang ada pada dirinya, melakukan penggelapan uang atau surat berharga, memalsukan, memberikan uang sogok/pelican atau janji-janji, atau berbuat curang”.


Kebijakan Pemberantasan Korupsi

Upaya pemberantasan korupsi yang selama lebih dari 40 tahun telah dilakukan, sampai saat ini belum menunjukkan hasil seperti yang kita harapkan. Komitmen dalam memberantas korupsi tidaklah mengenal orde, dimulai sejak tahun 1950-an dan sudah melalui lima (5) kali perubahan peraturan perundang-undangan yang dibentuk khusus untuk pemberantasan korupsi. Disamping itu, dari sisi komitmen politik nasional untuk memberantas korupsi termasuk untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, sebenarnya telah dimiliki bangsa Indonesia. Hal ini didasarkan pada ketetapan-ketetapan MPR-RI tahun 1998, yaitu pada Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998, dimana keinginan untuk memberantas korupsi telah dinyatakan sebagai be-
rikut: ”Meningkatkan keterbukaan pemerintahan dalam pengelolaan usaha untuk
menghilangkan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta praktek-praktek ekonomi lainnya yang merugikan negara dan rakyat. Menumbuhkan pemerintah yang bersih sebagai pelayan masyarakat dan bertindak berdasarkan undang-undang dalam rangka lebih meningkatkan kredibilitas pemerintah di mata rakyat. Menyiapkan sarana dan prasarana serta program aksi bagi tumbuhnya suasana yang sehat bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.”
Selanjutnya dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 keinginan untuk memberantas korupsi kembali dinyatakan, sebagai berikut: ”Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme”.
Atas dasar Ketetapan-ketetapan MPR yang secara tegas untuk memberantas korupsi dan menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana tersebut di atas, maka pada hakekatnya persyaratan mutlak yang harus dimiliki bangsa Indonesia agar ada komitmen politik nasional yang resmi untuk melakukan pemberantasan korupsi telah terpenuhi. Namun demikian upaya pemberantasan korupsi sampai saat ini belum memperoleh hasil yang optimal. Hal ini disebabkan antara lain karena masih adanya perbedaan pandangan tentang korupsi diantara para penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan.

Pada era reformasi saat ini, pemberantasan korupsi telah menjadi agenda utama gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998. Beberapa perangkat hukum yang mengatur soal pemberantasan korupsi dan penciptaan aparat pemerintah yang bersih dan bertanggungjawab yang ditetapkan sejak tahun 1998 antara lain adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi adalah antara lain Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsmen Nasional, sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsmen Nasional; PP Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah; dan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Istilah pemberantasan korupsi biasanya dikaitkan dengan kegiatan melakukan penindakan atas suatu tindak perkara korupsi, artinya melakukan sesuatu setelah korupsi terlanjur terjadi. Belum banyak yang menyadari bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 1 poin 3 dikatakan bahwa:
“Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Sehingga memberantas korupsi harus dilakukan baik dari sisi represif maupun preventifnya. Pada sisi represif adalah upaya penindakan atas pelaku korupsi yang dilakukan dengan keras dan tegas disertai dengan upaya maksimal pengembalian kerugian Negara yang ditimbulkan. Hal ini diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan calon pelaku lain berfikir dua kali untuk melakukan hal serupa.

Dari sisi preventif, kesempatan/opportunity untuk berkembangnya perilaku koruptif harus ditekan/dihilangkan. Ini merupakan pekerjaan besar karena melibatkan seluruh sistem yang berarti juga menuntut peran aktif seluruh stakeholders pemberantasan korupsi, yaitu: aparat pemerintahan; dunia usaha; dan masyarakat.

Upaya Pemberantasan Korupsi Melalui Penerapan Manajemen Berbasis Kinerja

Keterkaitan antara pemberantasan korupsi dengan penerapan Manajemen Berbasis Kinerja adalah bahwa penerapan Manajemen Berbasis Kinerja secara konsisten diyakini akan dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber-sumber daya secara keseluruhan. Dengan penetapan target kinerja yang jelas dan terukur serta penganggaran yang berbasis kinerja, dari sisi preventif dapat mencegah berkembangnya perilaku koruptif.

Korupsi (Corruption, C) merupakan akibat dari adanya Kekuasaan (Power, P) yang tidak diikuti dengan Akuntabilitas (Accuntability, A). Kekuasaan berasal dari penyelenggara Negara dan pengusaha jahat yang berkonspirasi dan berkolusi dengannya yang mendapatkan kesempatan (Opportunity) untuk melakukan korupsi karena merasa tidak perlu memberikan pertanggungjawabannya kepada publik (akuntabilitas). Korupsi mengakibatkan suatu pemerintahan yang buruk (bad government) yang pada satu sisi membebankan semua biaya atas berjalannya pemerintahan kepada rakyat dan pada sisi tersebut. Korupsi menyebabkan kemiskinan (poverty) yang karena kebutuhan hidupnya (needs) pada akhirnya juga melakukan korupsi walaupun berada pada tingkat kecil. Adanya kesempatan untuk melakukan korupsi pada akhirnya melibatkan pihak-pihak lain untuk juga ikut-ikutan (exposure) melakukan korupsi karena merasa bahwa korupsi sudah merupakan hal yang biasa dan menjadi budaya. Ini merupakan pekerjaan besar karena melibatkan seluruh sistem yang berarti juga menuntut peran aktif seluruh stakeholders pemberantasan korupsi, yaitu: aparat pemerintahan; dunia usaha; dan masyarakat.

Penerapan dan pembaharuan manajemen berbasis kinerja di Indonesia sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak diterbitkannya Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), yang selanjutnya diterbitkan pula Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 yang terkait dengan Penetapan Kinerja sebagai bagian yang integral dari Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) sebagai upaya dalam membangun kepemerintahan yang berorientasi pada hasil. Sedangkan kebijakan yang lebih operasional yaitu Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor : 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Sistem AKIP yang merupakan salah satu wujud dari penerapan manajemen berbasis kinerja mencakup: (a) perencanaan strategik yang memuat visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi (cara mencapai tujuan dan sasaran); (b) perencanaan kinerja yang meliputi sasaran, program, kegiatan dan indikator kinerja; (c) pengukuran kinerja yang mencakup kinerja kegiatan dan kinerja sasaran; (d) pelaporan kinerja yang dituangkan dalam dokumen Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Pada perkembangan selanjutnya juga telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.

Terkait dengan penerapan manajemen berbasis kinerja tersebut, Shahruddin Rasul (2005) menyatakan bahwa:
”Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang telah diterapkan di Indonesia memiliki beberapa komponen yang memenuhi kriteria dalam siklus manajemen berbasis kinerja, yaitu: (1) perencanaan strategis; (2) rencana kinerja tahunan yang menekankan komitmen organisasi untuk mencapai hasil tertentu sesuai dengan rencana strategis organisasi untuk permintaan sumber daya yang dianggarkan; (3) penetapan (kontrak) kinerja yang didesain untuk menyediakan sebuah proses meningkatkan komitmen untuk mengukur kinerja dan membangun akuntabilitas serta kesediaan untuk membuat organisasi menjadi transparan; (4) pengukuran dan evaluasi kinerja; serta (5) laporan kinerja yang dipublikasikan tahun.

Guna mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi sebagaimana diharapkan, maka langkah kedepan diperlukan adanya reformasi manajemen pemerintahan yang menurut pendapat (Mustopadidjaja, AR; 2003) meliputi: (1) Penataan kelembagaan (Institusional Arrangement). Penataan kelembagaan didasarkan pada visi, misi, sasaran, strategi, agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang terencana; dan diarahkan pada terbangunnya manajemen pemerintahan yang efisien, efektif, dan akuntabel; (2) Reformasi kepegawaian (Civil Servent Reform). Reformasi kepegawaian dilakukan melalui (a) perbaikan sistem remunerasi; (b) penilaian prestasi kerja sumber daya manusia aparatur; (c) pembinaan karier pegawai dan audit kinerja pegawai berbasis prestasi kerja; (d) penerapan sistem reward dan punishment yang memadai dalam pembinaan pegawai; (e) penyempurnaan sistem rekrutmen berbasis kompetensi; dan (f) mewujudkan sistem informasi manajemen kepegawaian secara terpadu; serta (g) penerapan manajemen kinerja individual; (3) Reformasi atas pengelolaan keuangan Negara (New Financial Management Reform). Reformasi atas pengelolaan keuangan Negara antara lain melalui penerapan anggaran berbasis kinerja, sebagaimana telah diamanatkan oleh berbagai peraturan perundangan di bidang keuangan Negara; dan (4) Reformasi sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (The New Public Sector Accountability Reform). Reformasi sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dilaksanakan melalui berbagai upaya penyempurnaan Sistem AKIP yang mencakup 5 (lima) tingkatan akuntabilitas, yaitu: (a) Tingkatan Sosial, yaitu bahwa suatu laporan perkembangan tahunan harus disampaikan kepada public; (b) Tingkatan Pemerintah; yaitu melalui penyiapan Renstra yang mengikhtisarkan prioritas 5 tahunan dan menyusun indikator kinerja program secara tahunan; (c) Tingkatan Korporat; para pimpinan BUMN menyiapkan Renstra dan business plan terkait dengan prioritas pemerintah serta mengidentifikasi sasaran dan ukuran kinerjanya; (d) Tingkatan Program, pada tingkatan program perlu dikembangkan ukuran kinerja dan dilakukan kontrak/penetapan kinerja serta dilakukan evaluasi program secara komprehensif.

Penutup


Untuk mewujudkan good governance dibutuhkan komitmen dan konsistensi dari semua pihak, aparatur negara, dunia usaha, dan masyarakat, dan pelaksanaannya di samping menuntut adanya koordinasi yang baik, juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja dan moral yang tinggi. Dalam rangka itu, diperlukan penerapan manajemen berbasis kinerja secara konsisten, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan berhasilguna. Dsamping itu, penerapan manajemen berbasis kinerja secara prefentiv dapat meminimalkan tindak pidana korupsi. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa dengan manajemen berbasis kinerja, transparansi; partisipasi, dan akuntabilitas organisasi akan lebih baik.

Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi adalah suatu kerangka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur tangan politik di satu sisi, dan reformasi manajemen pemerintahan di sisi lain. Sehingga penerapan manajemen berbasis kinerja akan dapat menjadi bagian (part of) dari upaya pemberantasan korupsi.


Daftar Pustaka

Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Instruksi Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional .


Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.

Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Lembaga Administrasi Negara, Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Jakarta, 2003.

AR, Mustopadidjaja, Format Bernegara Menuju Masyarakat Madani dalam Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Jakarta, Lembaga Administrasi Negara, 1999.
_____________, Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Mohamad, Ismail dkk, Konsep dan Pengukuran Akuntabilitas, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2004.

Sjahruddin Rasul, Penetapan (Kontrak) Kinerja, Pemicu Akuntabilitas Pemerintah, Jakarta, Majalah Layanan Publik, 2005.

Mahmudi, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2005.

J. Jerome, Paul, Evaluating Employee Performance, (Terjemahan), Jakarta, Lembaga Manajemen PPM, 2001.

Surya Dharma, Manajemen Kinerja: Falsafah Teori dan Penerapannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

A.S. Hornby (1963), The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, p.218.
Lopa, Baharuddin (1997), Masalah Korupsi dan Pemecahannya, Jakarta, PT. Kipas Putih Aksara.

MENATA ULANG BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)

Oleh : Marsono*)
Latar Belakang

Pergeseran paradigma ekonomi publik (peran pemerintah dalam memotori gerak ekonomi sangat menonjol) ke dalam ekonomi pasar (manajemen ekonomi dilandaskan pada mekanisme pasar dan persaingan) telah menggejala di seantero dunia saat ini. Dengan meletakkan landasan operasi pada mekanisme pasar dan persaingan diharapkan akan dapat memacu individu dan badan usaha termasuk di dalamnya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk kreatif, inovatif dan terus berinisiatif dengan basis entrepreneurship dan cost efficiency. Orientasi pengelolaan BUMN dengan basis entrepreneurship dan cost efficiency tersebut adalah bagaimana meningkatkan kinerja BUMN sehingga badan usaha ini benar-benar dapat menjadi efisien dan kompetitif. Dengan demikian asset negara yang dikelola oleh BUMN dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat banyak.
Pendirian dan keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia adalah merupakan amanat konstitusi negara sebagaimana dinyatakan pada Pasal 33 UUD 1945 yang secara tegas mengamanatkan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sejarah perkembangan BUMN di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari adanya tuntutan dan kebutuhan pemerintahan pada setiap masanya. Pada masa penjajahan Belanda telah dibentuk Pegadaian, Perusahaan Kereta Api dan Perusahaan Garam dan Soda yang merupakan cikal bakal berdirinya BUMN pada masa penjajahan tersebut. Selanjutnya pada masa perjuangan kemerdekaan telah didirikan beberapa BUMN, namun salah satu yang menonjol adalah BNI 1946, yang kemudian bersama dengan modal swasta mendirikan perusahaan niaga CTC (Central Trading Company) yang kemudian berkembang menjadi PT Panca Niaga hingga saat ini.
______________________________
*) Asisten Peneliti Madya pada Pusat Kajian Manajemen Kebijakan
Lembaga Administrasi Negara.
Peran BUMN sebagai unit ekonomi yang tidak terpisahkan dari sistem perekonomian negara, antara lain adalah: (1) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian negara; (2) menyelenggarakan kemanfaatan umum bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; (3) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan sektor swasta maupun koperasi; (4) mencari keuntungan/pendapatan; dan (5) sebagai salah satu sumber penerimaan keuangan negara (SANKRI : 2003).

Kebijakan Pengelolaan BUMN
Berdasarkan tinjauan empiris terhadap pembentukan BUMN sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa sejak zaman penjajahan Belanda telah dibentuk beberapa perusahaan negara dengan berbagai landasan pendirian serta orientasi usaha yang berbeda-beda, sehingga mengakibatkan kesulitan dalam pengendaliannya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka diterbitkan Undang-Undang No. 19 tahun 1960 tentang Perusahaan Negara yang merupakan tonggak penting bagi pengaturan dan pengendalian BUMN di Indonesia. Pada periode ini terdapat kecenderungan yang kuat untuk “menegarakan” berbagai badan usaha dan memusatkan kekuasaan perekonomian di tangan pemerintah. Perkembangan selanjutnya UU No. 19 tahun 1960 tersebut disempurnakan dengan UU No. 9 tahun 1969.
Sesuai dengan perubahan iklim politik yang terjadi pada awal masa Orde Baru diterbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1979 yang mengelompokkan BUMN ke dalam tiga golongan yaitu: (1) Perusahaan Jawatan (Perjan) dengan ciri bersifat public service, yaitu berupa pelayanan kepada masyarakat, permodalannya termasuk bagian dari APBN dan status hukumnya dikaitkan dengan hukum publik. Pengaturan lebih lanjut tentang Perusahaan Jawatan telah diterbitkan PP No. 6 tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan; (2) Perusahaan Umum (Perum) dengan ciri bersifat public utility, yaitu melayani kepentingan umum dan diharapkan dapat memupuk keuntungan, modal seluruhnya milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan, berstatus badan hukum dan diatur berdasarkan undang-undang. Pengaturan lebih lanjut mengenai Perusahaan Umum telah dikeluarkan PP No. 13 tahun 1998 tentang Perusahaan Umum; (3) Perusahaan Perseroan (Persero) yang bersifat profit motive, modal seluruhnya atau sebagian milik negara dan terbagi atas saham-saham serta bersatus badan hukum perdata dan berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Pengaturan lebih lanjut untuk BUMN Persero telah dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagai penyempurnaan dari Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847) tentang Perseroan Terbatas.
Selanjutnya dalam rangka penataan yang berkelanjutan atas pelaksanaan peran BUMN, telah dikeluarkan PP No. 63 tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional Kepada Menteri Negara BUMN dan PP No. 64 tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan Perseroan, Perum dan Perjan kepada Menteri Negara BUMN. Dengan dikeluarkannya PP No. 63 tahun 2001 tersebut kedudukan BPPN tidak lagi di bawah Menteri Keuangan melainkan berada di bawah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Namun demikian dengan disahkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka pembinaan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan tidak lagi berada di bawah kewenangan Kementerian Negara BUMN melainkan kembali berada di bawah kewenangan Menteri Keuangan. Dengan demikian seluruh asset negara yang dipisahkan yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pembinaannya berada pada Menteri Keuangan. Pengaturan lebih lanjut mengenai pengelolaan asset negara yang dipisahkan sesuai dengan amanat UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tersebut adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang baru tahun 2003 yang khusus mengatur tentang BUMN, dimana bentuk BUMN disederhanakan menjadi dua, yaitu Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Sedangkan BUMN yang semula berbentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) selanjutnya akan dialihkan menjadi Perusahaan Umum (Perum) atau Perusahaan Perseroan (Persero) dalam tempo dua tahun sejak pemberlakukan UU tersebut.

Kondisi BUMN Saat Ini

Berdasarkan data Kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN jumlah Badan Usaha yang dibina sampai saat ini terdiri dari 161 BUMN (termasuk 14 Anak Perusahaan Holding PT. Pusri dan PT. BPIS, 13 BUMN Perum dan 15 BUMN Perjan) serta 21 Badan Usaha Patungan Minoritas (Kementerian Negara BUMN: 2002).

Pertumbuhan asset BUMN selama periode tahun 1997 s.d 2000 terus mengalami peningkatan. Tahun 1997 total asset BUMN sebesar Rp. 425,9 triliun meningkat menjadi Rp. 861,5 triliun pada tahun 2000. Tingkat pertumbuhan asset tertinggi selama periode tersebut terjadi pada tahun 2000 sebesar 41,9% dibanding dengan tahun sebelumnya sebesar Rp. 607,0 triliun. Peningkatan aset tahun 2000 tersebut berkaitan erat dengan penambahan BUMN baru sebanyak 15 BUMN pada tahun 2000 yang berstatus Perusahaan Jawatan (Perjan) yang meliputi Perjan TVRI, Perjan RRI, dan 13 Perjan Rumah Sakit. Untuk tahun 2001 berdasarkan angka RKAP (Rencana Kerja Anggaran Perusahaan), tolal asset BUMN menurun sekitar 1,19% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu mencapai Rp. 845,2 triliun. Data perkembangan asset BUMN selama periode tahun 1997 s.d 2001 dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1
Perkembangan Aset BUMN
Tahun 1997 s.d 2001
No.
Tahun
Total Aset (Rp Juta)
Pertumbuhan (%)
Keterangan
1
1997
425.971.407
-

2
1998
437.756.394
2,8
3
1999
607.022.845
38,7
4
2000
861.520.494
41,9
5
2001
845.186.151
-1,19
Sumber : Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN, Departemen Keuangan

Sedangkan jumlah modal (ekuitas) BUMN selama periode tahun 1997 s.d 2000 juga cenderung meningkat. Hanya saja, pada tahun 1998, modal BUMN menurun tajam bahkan sampai minus, yaitu mencapai (Rp. -86,5 triliun). Selanjutnya untuk tahun berikutnya sejalan dengan proses pemulihan perekonomian, modal BUMN mengalami peningkatan mencapai Rp. 56,7 triliun. Pada tahun 2000 modal BUMN telah mencapai Rp. 250,9 triliun yang berarti telah melebihi angka sebelum terjadi krisis ekonomi. Sedangkan untuk tahun 2001, modal BUMN mengalami sedikit penurunan sebesar 0,7% sehingga modal BUMN menurun menjadi Rp. 249,2 triliun. Data perkembangan Modal BUMN selama periode tahun 1997 s.d 2001 dapat dilihat pada tabel 2 berikut :
Tabel 2
Perkembangan Modal BUMN
Tahun 1997 s.d 2001
No.
Tahun
Total Aset (Rp Juta)
Pertumbuhan (%)
Keterangan
1
1997
102.844.831
-

2
1998
-86.477.859
-
3
1999
56.737.199
-
4
2000
250.941.658
342,3
5
2001
249.232.926
-0,7
Sumber : Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN, Departemen Keuangan

Kontribusi BUMN terhadap negara selama beberapa tahun terakhir adalah sebagai berikut: pada tahun anggaran 1997/1998 BUMN memberikan kontribusi laba kepada pemerintah sebesar Rp. 2,3 triliun, pada tahun anggaran 1998/1999 sebesar Rp. 3,4 triliun dan pada tahun 1999 sebesar Rp. 4 triliun, tahun 2000 sebesar Rp. 5,5 triliun dan tahun 2001 sebesar kurang lebih Rp. 6 triliun. Disamping itu sejak tahun 1999 pemerintah juga menargetkan pemasukan dari hasil privatisasi BUMN dalam rangka menutup ketimpangan pembiayaan (financing gap) APBN sampai dengan tahun 2002 sebesar Rp. 13 triliun. Sedangkan untuk APBN tahun 2003 pemerintah menargetkan pemasukan dari privatisasi BUMN sebesar Rp. 8 triliun.
Target kinerja keuangan BUMN kedepan sampai dengan tahun 2006 sesuai dengan Master Plan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Tahun 2002-2006 dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Tabel 3
TARGET KINERJA KEUANGAN BUMN
TAHUN 2002 s.d 2006

TAHUN
TOTAL PEND.
EBT
TOTAL ASSET
EQUITY
ROA (%)
ROE (%)

KETERANGAN
1
2
3
4
2 : 3
2 : 4
2001
207.390
27.783
772.501
139.611
3,60
19,90
Pend. : 13% / th
EBT : 12% / th
T. Asset: 8% / th
Equity : 8 % / th
ROA : 4 % / th
ROE : 4 % / th
2002
237.567
30.573
831.162
157.189
3,68
19,45
2003
258.975
34.371
900.030
172.353
3,82
19,94
2004
284.166
37.537
963.346
182.572
3,90
20,56
2005
327.119
42.960
1.032.993
194.972
4,16
22,03
2006
378.668
49.734
1.113.067
209.562
4,47
23,73
Sumber : Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 2002.


Menata Ulang BUMN Ke Depan

Dalam mengemban misi mengelola asset negara yang dipisahkan, BUMN harus mempunyai tanggung jawab moral yang besar, yaitu selain harus dapat menjaga keutuhan, pengamanan dan mengoptimalkan pemanfaatan asset negara, juga harus berusaha secara terus menerus untuk meningkatkan kinerjanya, sehingga badan usaha ini benar-benar dapat menjadi efisien dan kompetitif. Dengan demikian asset negara yang dikelola dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat banyak.
Untuk dapat mengoptimalkan perannya dalam perekonomian nasional, maka BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan sistem pengelolaan dan pengawasan, serta peningkatan efisiensi dan produktifitasnya, sehingga mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang sangat cepat dan dinamis dengan tingkat persaingan yang sangat tajam.
Pengelolaan dan pengawasan BUMN ke depan, harus didasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) yang meliputi aspek: (1) transparansi; (2) kemandirian; (3) akuntabilitas; (4) pertanggungjawaban; dan (5) kewajaran.
Adapun peningkatan efisiensi dan produktivitas BUMN dapat dilakukan antara lain melalui restrukturisasi, baik restrukturisasi sektoral maupun restrukturisasi internal perusahaan. Restrukturisasi sektoral dimaksudkan agar tercipta iklim usaha yang kondusif sehingga tercipta efisiensi dan pelayanan yang optimal. Sedangkan restrukturisasi internal perusahaan dimaksudkan agar BUMN dapat meningkatkan daya saing, produktivitas dan kinerja perusahaan. Restrukturisasi internal perusahaan dapat dilakukan antara lain melalui penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen dan keuangan BUMN (Menteri Negara BUMN: 2003).
Beberapa langkah strategis dalam penataan BUMN ke depan, yang antara lain dikemukakan oleh Riant Nugroho, D., (2003) antara lain melalui 6 tahapan pembinaan BUMN yaitu: (1) Tahap I: Nasionalisasi; (2) Tahap II: Administrasi; (3) Tahap III: Pengelolaan Teknis; (4) Tahap IV: Langkah Politis; (5) Tahap V: Langkah Strategi; (6) Tahap VI: Langkah Teknis. Adapun tahapan penetaan dan pembinaan BUMN dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut:






















Gambar 1
TAHAPAN PEMBINAAN BUMN

Tahap I: Nasionalisasi - pengambilalihan dari kepemilikan asing
BUMN terpisah-pisah dan belum ada pengelolaan yang jelas. Masing-masing dikelola oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu (parpol, militer, kekuasaan)

Tahap II: Administrasi - akuisisi ke dalam pengelolaan teknis
BUMN dipilah-pilah ke dalam kementerian/departemen teknis.

Tahap III: Pengelolaan Teknis - kejelasan antara Wakil pemilik dan pembina Kepemilikan BUMN diwakilkan kepada Departemen Keuangan namun pembinannya
diserahkan kepada Kementerian/departemen teknis.

Tahap IV: Langkah Politis - Reposisi & Restrukturisasi BUMN
Kepemilikan BUMN diwakilkan kepada Departemen Keuangan, pembinaannya
diserahkan kepada Menteri Negara Pendayagunaan BUMN

Tahap V: Langkah Strategis - Restrukturisasi & Profesionalisasi BUMN
Kepemilikan BUMN diwakilkan kepada Departemen Keuangan, pembinaannya
diserahkan kepada Badan Pembina/Restrukturisasi BUMN

Tahap VI: Langkah Teknis - Kemandirian/profesionalisasi BUMN
Kepemilikan BUMN diwakilkan kepada Departemen Keuangan, pembinaannya
(tidak ada lagi “pembinaan”) diserahkan kepada induk-induk perusahaan (holding) BUMN



Lebih lanjut dari konsep tahapan pembinaan BUMN tersebut, dalam rangka penyehatan BUMN diperlukan strategi generik reformasi BUMN yang terdiri dari tiga sekuensi, yaitu : (1) Sekuensi I: Restrukturisasi, yang lebih difokuskan kepada BUMN yang under-managed baik karena masalah internal maupun eksternal. Masalah internal adalah karena kurangnya kompetensi manajerial dari BUMN bersangkutan. Hampir seluruh BUMN memerlukan proses restrukturisasi manajerial. Masalah eksternal karena BUMN yang bersangkutan terkait kontrak-kontrak dengan pihak ketiga yang dapat mempailitkannya; (2) Sekuensi II: Peningkatan laba (profitisasi), yang merupakan langkah lanjut dari restrukturisasi, karena setiap BUMN yang bersifat Persero bermotif profit, dan persiapan privatisasi yang bernilai tambah, bagi BUMN yang dapat diprivatisasi. Dengan demikian sebelum diprivatisasi BUMN sudah sehat dan dapat diprivatisasi dengan harga penawaran yang lebih optimal; (3) Sekuensi III: Privatisasi, dengan kriteria dan ketentuan yang jelas sesuai sifat BUMN, di mana BUMN yang bersifat sangat strategis akan tetap dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, sementara yang diluar kategori tersebut dapat diprivatisasi. Privatisasi yang lebih memberikan hasil optimal sebaiknya dilakukan dua tahap, yaitu: (a) melalui mitra strategis, dengan keuntungan injeksi modal, pasar kompetensi manajemen, dan teknologi; (b) melalui pasar modal, dengan keuntungan injeksi kapital dan citra transparansi, baru dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu go public. Adapun peta strategis dari strategi generik reformasi BUMN dapat dilihat pada Gambar 2 sebagai berikut :


Gambar 2
STRATEGI GENERIK FEFORMASI BUMN

Sekuensi I

BUMN yang undermana-ged baik karena masalah internal maupun eksternal. Masalah internal karena kurangnya kompetensi manajerial dari BUMN bersangkutan. Hampir seluruh BUMN memer-lukan proses restrukturisasi manajerial. Masalah eks-ternal karena BUMN yang bersangkutan terkait dengan kontrak-kontrak dengan fihak ketiga yang dapat mempailitkannya.


Sekuensi II

Peningkatan laba merupakan: (1) langkah lanjut dari restrukturisasi, karena setiap BUMN yang bersifat Persero bermotif profit, dan (2) persiapan privatisasi yang bernilai tambah, bagi BUMN yang dapat diprivatisasi. Dengan demikian sebelum diprivatisasi BUMN sudah sehat dan dapat diprivatisasi dengan harga penawaran yang lebih optimal.

Sekuensi III

Privatisasi: (1) Tergantung keperluan dan sifat BUMN; BUMN yang bersifat sangat strategis akan tetap dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, sementara yang diluar kategori tersebut dapat diprivatisasi; (2) melalui mitra strategis, dengan keuntungan injeksi modal, pasar kompetensi manajemen, dan teknologi; atau pasar modal dengan keuntungan injeksi kapital dan citra transparansi.
Tahap I : Restrukturisasi

Tahap II : Peningkatan Laba

Tahap III : Privatisasi
Sumber : Riant Nugroho D., (2003).


Thynne (1991) juga menawarkan satu pemikiran dalam pengelolaan dan penataan BUMN yaitu berupa model reformasi BUMN yang merupakan strategi untuk menstransformasikan manajemen BUMN dari karakter birokrasi menuju karakter perusahaan swasta, antara lain mencakup tiga faktor penting, yaitu: (1) komersialisasi; (2) korporatisasi; (3) divestasi. Adapun model transformasi BUMN tersebut dapat dilihat pada gambar 3 sebagai berikut:







Gambar 3
MODEL TRANSFORMASI BUMN

……………….……………..Public sector ………………..…….. Private sector
High ……………….degree of policy, financrial and …………. Low
personnel control by governmen

Counter Forces
eg. Resistance of enterprices”s
management and employees;
political (including union)
opposition; and/or inadequate enterpreneurial talent Departemen

Statutory Body
(unincorporated)Commercialisation




Commewrcialisation


Corporatisation (1)
Statutory Body
(unincorporated)
Statutory Body
(either unincorporated or incorporated)











Corporatisation (2)
Government Company


Commercialisation Stimuli
eg. Desire to increase enterprise’s efficiency, profitability and market responsiveness; and/or to reduce government’s budget deficit, foreign foreign debt, and organizational burden
Divestment
(partial)
(full)








Low …………………………………..….…... degree of legal and operational ………………..………… High autonomy within government
………………………….…………………Public sector ……………..……………………….. Private sector

Sumber : (Tyynne: 1991).

Model reformasi ini merupakan strategi untuk mentransformasikan manajemen BUMN dari karakter birokrasi secara pelan-pelan menuju karakter perusahaan swasta. Pada gambar 3 tersebut di atas, tercakup tiga faktor penting, yaitu komersialisasi, korporasi dan divestasi. Sebagai langkah pertama adalah upaya mengkomersialisasikan seluruh BUMN tanpa memperhatikan status hukumnya ke dalam pola perusahaan swasta. Selanjutnya setelah BUMN dapat melaksanakan fungsi komersialisasi, maka tahap berikutnya adalah melaksanakan divestasi, yaitu melalui pelepasan sebagian saham perusahaan.
Salah satu strategi pengelolaan dan penataan BUMN oleh pemerintah adalah melalui Keputusan Menteri Keuangan No.70/KMK.00/1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas BUMN, yang pada intinya ditempuh melalui kegiatan restrukturisasi BUMN, yang mencakup variasi-variasi kegiatan sebagai berikut : (1) perubahan status hukum yang lebih menunjang pencapaian misi BUMN; (2) kerjasama operasi dan kontrak manajemen dengan pihak ketiga; (3) konsolidasi atau merger; (4) pemecahan badan usaha kearah usaha yang lebih mantap (biasanya ditempuh melalui strategic business unit); (5) penjualan saham melalui pasar modal; (6) penjualan saham secara langsung; dan (7) pembentukan perusahaan patungan.
Indra Bastian (2002) menyatakan bahwa untuk mereformasi BUMN antara lain dapat melalui: (1) pembentukan holding BUMN, yang pada intinya diharapkan akan memberikan manfaat antara lain: (a) mencari sumber pendanaan yang lebih murah; (b) mendorong proses penciptaan nilai, market value creation dan value enhancement; (c) mengalokasikan modal dan melakukan investasi yang strategis; (d) mensubstitusi defisiensi manajemen di anak-anak perusahaan; (e) mengkoordinasikan langkah agar dapat akses ke pasar internasional; (f) mengembangkan kemampuan manajemen puncak melalui cross-fertilization; dan (2) pembentukan korporasi BUMN, melalui 8 fondasi korporasi kelas dunia, yaitu: (a) Masterplan reformasi BUMN yang menyangkut sasaran, strategi, dan kebijakan; (b) Sistem manajemen yang mencakup sistem manajemen universal yang kompetitif, adaptif, dan sensitif terhadap perubahan lingkungan; (c) Sistem informasi manajemen diantaranya adalah dibangunnya sistem informasi BUMN on line melalui jaringan internet dan tersedianya data informasi yang cepat, akurat, dan reliable; (d) Kepemimpinan korporasi, dengan mengubah paradigma kepemimpinan yang menekankan penyelarasan, komitmen, pemberdayaan, dan kemampuan kepemimpinan; (e) Ketatalaksanaan dan etika korporasi, untuk pihak internal adalah dengan menyeimbangkan kekuatan di dalam korporat antara manajemen, pemegang saham, komisaris, direksi dan karyawan serta kreditur, sedangkan di pihak eksternal adalah kesejajaran dengan stake holder lainnya di luar BUMN; (f) Perencanaan dan pengendalian yang berisi tiga hal pokok yaitu rencana jangka panjang perusahaan (RJPP) mencakup program restrukturisasi dan privatisasi, rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) serta sistem pengendalian BUMN; (g) Sistem insentif dan remunerasi yang diharapkan akan dapat meningkatkan motivasi dan memacu semangat untuk berkompetisi secara sehat dalam meningkatkan kinerja BUMN; (h) Kesatuan dan kerukunan karyawan, dipandang perlu untuk membentuk suatu serikat pekerja yang independen, terlepas dari berbagai kepentingan politik.
Pelkmans and Wagner (1990) menyatakan bahwa terdapat dua kondisi yang harus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi badan usaha : “first, government control and interference have to be abolished, and secondly, the privatised companies must be exposed to increased competition”
Selanjutnya Ramamurti (1987) menawarkan dua strategi dalam pengelolaan dan penataan BUMN, yaitu: (1) kemandirian strategis, suatu kemandirian yang berkaitan dengan perumusan dan penentuan sasaran perusahaan, keputusan investasi, penetapan strategi perusahaan dan keputusan-keputusan lainnya yang bersifat strategis; (2) kemandirian operasional, yaitu kemandirian yang berkaitan dengan tugas manajemen sehari-hari seperti produksi, pemasaran atau manajemen personalia.

Penutup

Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan prinsip-prinsip good corporate governance, maka kedepan BUMN harus dapat memberikan akses yang sebesar-besarnya bagi pemeriksaan ekternal, baik itu akuntan publik maupun BPK dan BPKP. Hal ini penting dalam rangka memperjelas posisi BUMN, yang disatu sisi merupakan entitas bisnis yang tunduk pada UU Perseroan Terbatas dan UU Pasar Modal, tetapi disisi lain juga merupakan badan usaha yang mengelola kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan demikian paling tidak ada satu tanggungjawab moral yang melekat pada BUMN tersebut dalam rangka menjamin pengamanan dan pengoptimalan pemanfaatan asset negara yang dikelolanya, sehingga dapat memberikan manfaat bagi hajat hidup orang banyak.
Agar pengelolaan asset negara dapat memberikan kontribusi yang lebih nyata bagi negara dan rakyat banyak, maka BUMN yang secara kelembagaan mengelola asset negara tersebut kedepan harus ditata ulang baik menyangkut dasar hukum pembentukannya, bentuk badan usaha, organisasi, manajemen dan keuangannya.


Daftar Pustaka

1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara;
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Persero);
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
5. Undang-Undang Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Jawatan (Perjan);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan (Perjan);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2001.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2001.
14. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 70/KMK/00/1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
15. Lembaga Administrasi Negara, Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta, 2003;
16. Kementerian BUMN, Master Plan Badan Usaha Milik Negara Tahun 2002 - 2006, Jakarta, 2002;
17. Riant Nugroho, D., Reinventing Pembangunan: Menata Ulang Paradigma Pembangunan Untuk Membangun Indonesia Baru Dengan Keunggulan Global, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003;
18. Levy, B., A theory of Public Enterprise Behavior, Journal of Economic Behavior, and Organization, 1987.
19. Ramamurti, R., Controlling State-Ownwed Enterprise, Public Enterprise, 1987.
20. Pelkmans, J., and Wagner, N., The Economics of Privatization and Deregulation: Lessons from ASEAN and the EC’, in J. Pelkmans and N. Wagner(Eds.) Privatization and Deregulation in ASEAN and the EC: Making Market more effective, Singapore: Institute of South Asean Studies, 1990.
21. Thynne, I., Transformation of Public Enterprises: Changing Patterns of Ownership, Accountability and Control’ in C.Y. Ng and N. Wagner (eds.) Marketization in ASEAN, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1991.
22. Indra Bastian, Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi, Jakarta, Salemba Empat, 2002.
23. Teddy Pawitra, Manajemen Di Indonesia, Beberapa Isu Kontemporer, FE UI, 1993.