Kamis, 30 Oktober 2008

AKSELERASI IMPLEMENTASI PAKET KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL

Oleh: Marsono *)
Diterbitkan pada Majalah Manajemen Pembangunan LAN No. 59/III/Tahun XVI, 2007

Salah satu upaya akselerasi implementasi kebijakan penanaman modal adalah sikronisasi paket kebijakan penanaman modal dan koordinasi antar departemen, Pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota serta penetapan kebijakan dasar penanaman modal untuk mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi pe-nanaman modal, mempercepat peningkatan penanaman modal melalui pemberian perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing baik dalam bentuk Penanaman Modal Asing Langsung (Foreign Direct Invesment/FDI) maupun dalam bentuk portofolio investasi, menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keaman-an berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perijinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal.


Pendahuluan

Berhasil atau tidaknya implementasi kebijakan, termasuk dalam hal ini kebijakan penanaman modal, sangat ditentukan oleh dua variabel besar, yakni variabel “content of policy” dan ”context of policy”. Variabel “content of policy” antara lain mencakup: (1) sejaumana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups; (3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Suatu program yang bertujuan merubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relatif lebih sulit diimplementasikan daripada program yang sekedar memberikan bantuan kredit atau beras kepada kelompok masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan variabel “context of policy” (lingkungan kebijakan) mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
_____________________________________________
*) Peneliti Madya pada Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LAN

Dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada hakekatnya adalah dalam rangka menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif di Indonesia, serta pengaturan penanaman modal secara komprehensif, mengingat hukum penanaman modal yang telah berlaku selama kurang lebih 40 (empat puluh) tahun perlu diganti karena tidak sesuai lagi dengan tantangan dan kebutuhan untuk mempercepat perkembangan perekonomian nasional. Berbagai kebijakan penanaman modal tersebut antara lain: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kesemua peraturan perundangan tersebut merupakan dasar hukum bagi kegiatan penanaman modal di Indonesia selama ini.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang selama ini menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain dengan melalui sinkronisasi paket kebijakan penananamn modal, perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efesien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha.
Sinkronisasi kebijakan penanaman modal terkait dengan upaya-upaya penyelarasan terhadap kebijakan-kebijakan sektoral seperti pasar modal, pertambangan, industri, kehutanan, pertanian, perkebunan, dan transportasi serta penyelarasan Perda-Perda terkait dengan Pajak dan Retribusi Daerah yang dapat menghambat peningkatan investasi. Sedangkan koordinasi dengan pemerintah daerah harus sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu pemberian kewenangan yang luas dalam hal membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, terkait dengan upaya peningkatan penanaman modal, maka pemerintah daerah bersama-sama dengan instansi atau lembaga, baik swasta maupun pemerintah, harus lebih diberdayakan lagi, baik dalam pengembangan peluang potensi daerah maupun dalam koordinasi promosi dan pelayanan penanaman modal di daerah.
Melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan akselerasi implementasi paket kebijakan penanaman modal setelah dikeluarkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yaitu: (1) kebijakan-kebijakan terkait dengan penanaman modal; (2) implementasi kebijakan penanaman modal; dan (3) realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA), serta (4) beberapa usulan konkrit dalam meningkatkan penanaman modal.


Kebijakan Bidang Penanaman Modal

Potensi Indonesia bagi investasi sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran (produksi) maupun sisi permintaan. Dari sisi penawaran, harus dibedakan antara potensi jangka pendek dan potensi jangka panjang. Potensi jangka pendek yang masih dapat diandalkan oleh Indonesia tentu adalah masih tersedianya banyak sumber daya alam (SDA), termasuk komoditas-komoditas pertambangan dan pertanian, dan jumlah tenaga kerja yang sangat besar. Sedangkan potensi jangka panjang adalah pengembangan teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Sedangkan dari sisi permintaan, ada dua faktor utama yakni jumlah penduduk dan pendapatan riil per kapita. Kedua faktor tersebut secara bersama menentukan besarnya potensi pasar, yang berarti juga besarnya potensi keuntungan bagi para investor.
Mengingat potensi Indonesia yang begitu besar bagi peningkatan investasi tersebut, maka untuk memacu tingkat investasi di Indonesia, maka pada tanggal 1 November 2006 Presiden Yudhoyono mengajak kembali para investor asing untuk kembali membangun Indonesia disaat pembukaan Indonesia Infrastructure Conference & Exhibition (IICI) 2006 di Jakarta Convention Centre (JCC).
Untuk mendukung upaya peningkatan investasi sebagaimana tersebut di atas, pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan penanaman modal berupa Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal beserta berbagai kebijakan pendukung lainnya, yaitu: (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu; dan (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2007 tentang Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah tertentu.
Adapun berbagai kebijakan penanaman modal yang selama ini menjadi dasar hukum penanaman modal di Indonesia, antara lain sebagai berikut:
Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 jo. No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing (PMA);
Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo. No. 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN);
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 jo. No. 83 Tahun 2001 tentang Kepemilikan Saham Asing Dalam PMA;
Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 jo. No. 118 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang dinyatakan Terbuka/Tertutup;
Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981 jo. No. 28 Tahun 2004 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM);
Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka untuk Menengah Atau Besar dengan Syarat Kemitraan.
Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap;
Keputusan Kepala BKPM No. 57/SK/2004 jo. No. 70/SK/2004 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Dalam Rangka PMA/PMDN;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
10. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu.
12. Peraturan-Peraturan Sektor/Teknis dan Peraturan Daerah (Perda).

Sebagai upaya untuk mensinkronkan berbagai kebijakan bidang penanaman modal, telah ditetapkan pembagian urusan pemerintahan pada bidang kebijakan penanaman modal antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana dapat terlihat pada Tabel 1 berikut:













TABEL I
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENANAMAN MODAL
SUB BIDANG KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL
ANTARA PEMERINTAH PUSAT, PEMERINTAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA


SUB BIDANG


PEMERINTAH


PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA























Kebijakan Penanaman Modal


1. Penetapan kebijakan pengembangan penanaman modal Indonesia dalam bentuk rencana strategis nasional berdasarkan program pembangunan nasional.

2. Penetapan pedoman, pembinaan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal skala nasional.

3. Koordinasi, penetapan dan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang penanaman modal meliputi:
a. Bidang usaha yang tertutup.
b. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu.
c. Bidang usaha yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional sesuai peraturan perundang-undangan.
d. Pemetaan investasi Indonesia, potensi sumber daya nasional termasuk pengusaha kecil, menengah dan besar.
e. Penetapan pemberian insentif fiskal dan non fiskal.


1. Penetapan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah provinsi dalam bentuk rencana strategis daerah berdasarkan program pembangunan daerah, berkoordinasi dengan pemerintah.

2. Penetapan pedoman, pembinaan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal skala provinsi, berkoordinasi dengan pemerintah.

3. Koordinasi, penetapan dan pelaksanaan kebijakan daerah provinsi di bidang penanaman modal meliputi:
a. Penyampaian usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
b. Penyampaian usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan tertentu.
c. Penyampaian usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi dalam skala provinsi sesuai peraturan perundang-undangan.


1. Penetapan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah kabupaten/kota dalam bentuk rencana strategis daerah berdasarkan program pembangunan daerah kabupaten/kota, berkoordinasi dengan provinsi.

2. Penetapan pedoman, pembinaan, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal skala kabupaten/kota, berkoordinasi dengan provinsi.

3. Koordinasi, penetapan dan pelaksanaan kebijakan daerah kabupaten/kota di bidang penanaman modal meliputi:
a. Penyampaian usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
b. Penyampaian usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan tertentu.
c. Penyampaian usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi di kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.





SUB BIDANG


PEMERINTAH


PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA



d. Pemetaan investasi daerah provinsi dan potensi sumber daya daerah terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha kecil, menengah, dan besar berdasarkan masukan dari daerah kabupaten/kota.

e. Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi kewenangan provinsi.

4. Penetapan peraturan daerah tentang penanaman modal di provinsi dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.


d. Pemetaan investasi daerah kabupaten/kota dan identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/kota terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha kecil, menengah, dan besar.

e. Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.

4. Penetapan peraturan daerah tentang penanaman modal di kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.



Tataran Implementasi

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada tahun 2007, maka Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjadi sebuah lembaga pemerintah yang menjadi koordinator kebijakan penanaman modal, baik koordinas antar instansi pemerintah, pemerintah dengan Bank Indonesia, serta pemerintah dengan pemerintah daerah maupun pemerintah daerah dengan pemerintah daerah. BKPM juga diamanatkan sebagai badan advokasi bagi para investor, misalnya menjamin tidak adanya ekonomi biaya tinggi.
Untuk memberikan kemudahan dan kepastian terhadap calon investor dalam pengajuan persetujuan/perizinan dalam rangka pendirian Perusahaan PMDN dan PMA di Indonesia, BKPM telah menyusun alur pengajuan persetujuan/perizinan pendirian perusahaan PMDN dan PMA sebagaimana terlihat pada Bagan 1 berikut:
BAGAN 1
ALUR PENGAJUAN PERSETUJUAN/PERIZINAN PENDIRIAN
PERUSAHAAN PMDN DAN PMA















Di samping menetapkan alur pengajuan persetujuan/perizinan pendirian perusahaan PMDN dan PMA, BKPM juga telah menetapkan durasi (jangka waktu) proses penyelesaian setiap jenis aplikasi/permohonan PMA/PMDN sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2
Jenis dan Waktu Perizinan
Bidang Investasi
Jenis Layanan
Perizinan
Lama Waktu
Surat Persetujuan PMA/PMDN
10 Hari
Izin-izin Pelaksanaan di BKPM
- Penerbitan APIT
- Penerbitan RPTK
- Rekomendasi Visa Tenaga Kerja Asing untuk Imigrasi (TA.01)
- Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA)
- Surat Persetujuan Pabean Barang Modal/Bahan Baku

5 Hari
4 Hari


4 Hari

4 Hari


14 Hari
Surat Persetujuan Perubahan
- Kepemilikan Saham PMA
- Investasi dan Sumber Pembiayaan
- Perubahan Status
- Surat Persetujuan Merger

5 Hari

5 Hari
7 Hari
10 Hari
Penerbitan Izin Usaha Tetap
7 Hari
Penerbitan surat-surat persetujuan dan izin-izin pelaksanaan penanaman modal yang dikeluarkan oleh BKPM tidak dipungut biaya.

Walaupun berbagai upaya telah dilakukan baik berupa Paket Kebijakan Penanaman Modal maupun kemudahan-kemudahan dalam pengurusan administrasi perizinan penanaman modal, namun demikian tidaklah mudah mendapatkan kepercayaan dari para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, mengingat masih terdapat persoalan-persoalan yang dapat menghambat arus investasi ke Indonesia. Adapun persoalan-persoalan tersebut antara lain menyangkut peraturan perundangan, keamanan, politik, sosial, penegakan hukum, serta faktor birokrasi terkait dengan perizinan bidang investasi.
Persoalan terkait dengan peraturan perundangan yaitu adanya tumpang tindih antara kebijakan pusat dengan kebijakan daerah (Perda) menyangkut perizinan investasi. Berkaitan dengan hal tersebut, sampai dengan Juli 2007, dalam rangka sinkronisasi kebijakan Pemerintah c.q Departemen Dalam Negeri telah membatalkan 100 Peraturan Daerah (Perda) yang dinilai melanggar peraturan di atasnya. Dan sebagian besar Perda yang dibatalkan tersebut adalah Perda retribusi dan pajak daerah. Perda retribusi antara lain retribusi izin bidang usaha industri dan perdagangan serta retribusi izin pendirian perusahaan. Dengan demikian, sejak tahun 2002 hingga 2007, Pemerintah telah membatalkan 694 Perda dari ribuan Perda yang dievaluasi oleh pemerintah.
Persoalan kemanan juga sangat terkait dengan iklim investasi yang sedang dibangun. Kondisi keamanan terutama di daerah-daerah yang mempunyai potensi sumber daya alam yang cukup banyak dan berpotensi menjadi obyek investasi masih relatif belum stabil. Hal ini terlihat masih banyaknya tindak kejahatan baik yang berada wilayah rawan konflik maupun di wilayah-wilayah dimana para investor menanamkan modalnya serta kejahatan-kejahatan di wilayah perairan Indonesia yang sering kali mengganggu jalur operasional pengangkutan bahan baku industri maupun aktivitas ekspor impor.
Kondisi politik yang belum sepenuhnya stabil dan masih pada tataran mencari format demokrasi yang mapan seperti Indonesia saat ini, kadang kala masih diwarnai ketidak pastian politik. Kondisi seperti ini juga sangat mempengaruhi iklim investasi dan menjadi pertimbangan utama bagi para investor asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia.
Persoalan sosial yang sering muncul adalah demontrasi yang banyak dilakukan oleh para buruh. Dalam konteks perburuhan ada kecenderungan yang sangat kuat dimana pengusaha berusaha untuk melakukan fleksibilitas dengan menggantikan tenaga kerja tetap menjadi tenaga kerja kontrak atau outsourcing guna menghadapi situasi pasar yang sangat kompetitif. Sejumlah pengusaha menganggap bahwa regulasi perburuhan yang lebih fleksibel masih sangat diperlukan. Namun demikian realitas dilapangan menunjukkan bahwa praktek-praktek fleksibilitas ini menghasilkan degradasi kondisi kerja para buruh, tingkat pendapatan buruh serta menciptakan ketidak pastian kerja dan ketidak pastian kesejahteraan buruh.
Hambatan lain yang cukup serius yang dihadapi para investor dalam menanamkan modalnya dan menjalankan usahanya yaitu bersumber dari ketidak pastian hukum yang ditimbulkan oleh praktek peraturan-peraturan daerah yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah. Meningkat pesatnya jumlah perda retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah tanpa melibatkan stakeholders secara representatif dalam proses perumusannya menimbulkan beban ekonomi biaya tinggi.
Lemahnya arus investasi ke Indonesia selama ini, juga disebabakan karena sistem birokrasi yang berbelit. Soal pengurusan perijinan misalnya, di Indonesia masih melalui proses panjang dan waktu yang lama, yaitu sekitar 150 hari. Dibanding dengan Vietnam yang cuma 30 hari, tentu membuat Indonesia tidak kompetitif sebagai tempat menanamkan modalnya. Di samping itu juga masih tingginya pungli oleh aparat birokrasi terkait dengan pemberian berbagai jenis pelayanan investasi.
Berbagai kondisi tersebut di atas tentu saja ikut mempengaruhi buruknya iklim investasi di Indonesia secara umum. Gambaran buruknya iklim investasi tersebut, khususnya pada beberapa sektor/bidang investasi ditunjukkan dari beberapa hasil survey, antara lain Fraser Institute (2007) yang menyatakan bahwa iklim investasi bidang pertambangan di Indonesia dinilai penuh ketidakpastian. Berdasarkan data yang dikeluarkan Fraser Institute tersebut diketahui bahwa dari segi kepastian kebijakan pertambangan Indonesia ada diperingkat ke-55 dari 65 negara yang memiliki sumber daya mineral. Sampai saat ini, usaha pertambangan masih menggunakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967. Disamping itu sejumlah aturan kehutanan dan lingkungan hidup yang dikeluarkan setelah tahun 1998 tidak sinkron dengan Undang-Undang Pertambangan. Selain masalah kehutanan dan lingkungan hidup tersebut, pelaksanaan otonomi daerah juga ikut memunculkan ketidakpastian. Ada Kepala Daerah yang mengeluarkan kuasa pertambangan atas wilayah yang oleh pemerintah pusat sudah dikeluarkan izin prinsipnya untuk kontrak karya.
Selanjutnya hasil survei Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEMUI) tentang perkembangan iklim investasi indonesia terhadap 589 perusahaan baik yang berada di Medan, Jabodetabek, Semarang, Surabaya dan Makassar pada bulan September 2007, yang menunjukkan bahwa dari sisi proses kepabeanan di jalur hijau (jalur untuk importir yang mendapatkan berbagai kemudahan Ditjen Bea dan Cukai) semakin cepat, yaitu yang semula 4,5 hari pada pertengahan 2006 menjadi 3,1 hari pada 2007. Sedangkan di jalur merah turun dari 7,3 hari pada pertengahan 2006 menjadi 5,9 hari pada 2007. Namun yang mengejutkan adalah jumlah responden yang menyatakan tidak pernah memberikan suap kepada petugas justru menurun. Artinya bahwa dari aspek pelayanan sudah ada perbaikan, akan tetapi frekuensi terjadinya suap justru semakin tinggi meskipun nilai suapnya tidak besar. Ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang harus membayar suap, karena ada eficiency grease (biaya yang dikeluarkan sebagai pelicin) untuk memperlancar proses kepabeanan. Artinya bahwa pengusaha bersedia membayar pelicin kalau prosesnya lebih gampang dan cepat.
Kemudian terkait dengan faktor kemudahan di Indonesia, dimana kemudahan usaha di Indonesia masih tertinggal sesuai dengan Laporan International Finance Corporation (IFC) tentang “Doing Business 2008” dimana Indonesia menduduki peringkat 123 dari 178 negara di seluruh dunia. Ditingkat Asia Singapura selama dua tahun berturut-turut (2006, 2007) menduduki peringkat pertama. Sementara Hongkong saat ini diperingkat 4, Malaysia peringkat 24, dan Vietnam peringkat 83. Countri Manager IFC Adam Sack mengatakan, jika Indonesia berhasil mengimplementasikan berbagai kebijakan perbaikan iklim usaha/investasi yang telah dikeluarkan dalam beberapa paket kebijakan ekonomi, maka perubahan signifikan bisa didapatkan. Laporan International Finance Corporation (IFC) yang terkait dengan tingkat kemudahan usaha, dimana Indonesia berada pada peringkat 123 tersebut, pada hakekatnya adalah sejalan dengan hasil survey yang dilakukan oleh LPEMUI dimana pada intinya perbaikan iklim investasi di Indonesia masih sangat kecil.
Survey UNTAD (2004) dengan judul World Investment Report 2004, mencatat peringkat Indonesia berada dalam papan terbawah nomor 2 dari 140 negara dilihat dari indeks kinerja investasi. Salah satu unsur yang paling buruk adalah waktu untuk mengurus ijin investasi yang masih dikeluhkan terlalu lama yaitu (150) hari untuk memulai bisnis baru, prosedur ekspor yang lambat dan kompleks sehingga membuat biaya logistik dan transpor menjadi tidak kompetitif, ditambah korupsi yang masih berlanjut di bea cukai dan pelabuhan. Disamping itu, dengan dalih untuk meningkatkan pendapatan daerah (PAD), pemerintah daerah menerapkan beberapa pungutan, pajak, sumbangan sukarela dan pembatasan-pembatasan yang ditujukan kepada investor dan kegiatan bisnis.
Kondisi buruk iklim investasi di Indonesia juga diperparah adanya perbedaan persepsi antara pihak pemerintah dengan DPR terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penetapan Batam, Bintan dan Karimun sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, sehingga terjadi adanya Penundaan Free Trade Zone/FTZ) tersebut. Kalangan DPR menilai penetapan Batam, Bintan, dan Karimun sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang diatur dengan Perpu tersebut akan menimbulkan konflik hukum karena bertentangan dengan UUD 1945, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, serta UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebaliknya pemerintah meyakini tidak terjadi pertentangan antara Perpu No. 1/2007 dan UU No. 32 Tahun 2004. Perbedaan persepsi tersebut secara signifikan tentu berpengaruh terhadap ketertarikan investor asing untuk menanamkan modalnya terutama di kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas tersebut.
Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Realisasi persetujuan penanaman modal di Indonesia sejak tahun 1998 – 2002 dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut:
TABEL 3
PERKEMBANGAN PERSETUJUAN PENANAMAN MODAL DI INDONESIA
SEJAK TAHUN 1989 – 2002
TAHUN / Year
PMDN / Domestic of Investment
P M A / Foreign of Investment
PROYEK / Project
NILAI / Value
(Rp. Milyar/Billion)
PROYEK / Project
NILAI / Value
(US$. Juta/Million)
1998
320
57.938,3
1.034
13.585,5
1999
228
53.120,2
1.174
10.892,2
2000
355
92.410,4
1.524
15.426,2
2001
264
58.816,0
1.333
15.055,9
2002
181
25.262,3
1.135
9.744,1
Sumber: BKPM 2007

Sedangkan data realisasi persetujuan Penanaman modal Asing (PMA) menurut negara asalnya sejak tahun 1998 – 2002 dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut:

TABEL 4
PERKEMBANGAN PERSETUJUAN PMA MENURUT NEGARA ASAL,
SEJAK TAHUN 1998 - 2002

No.
Sektor/Sector
1998
1999
2000
2001
2002
I
P
I
P
I
P
I
P
I
P
I.
AMERIKA / America
1.178,9
108
798,4
51
146,1
71
254,5
44
81,5
42
1
AMERIKA / USA
1.017,7
46
568,3
46
136,7
54
243,1
37
72,8
37
2
KANADA / Canada
6,2
50
8,1
3
3,1
13
2,4
5
8,4
4
3
PANAMA / Panama
88,9
4
-
1
4,3
-
5,9
-
-
1
4
BAHAMA / Bahama
-
1
96,0
-
-
-
-
-
-
-
5
CAYMAN ISLAND / Cayman Island
66,1
2
2,6
1
2,0
2
2,8
-
-
-
6
BERMUDA / Bermuda
-
1
2,8
-
-
-
-
-
-
-
7
BRASIL / Brazilia
-
1
119.8
-
-
-
-
-
-
-
8
MEXICO / Mexico
-
-
-
-
-
1
0.3
-
-
-
9
BAHAMAS / Bahamas
-
2
0,6
-
-
1
-
-
-
-
10
ISLE OF MAN / Isle of Man
-
1
0,2
-
-
-
-
-
-
-
11
ARGENTINA / Argentina
-
-
-
-
-
-
-
2
0,3
-
II.
EROPA / Europe
11.746,3
162
5.308,8
229
731,8
222
5.938,5
200
923,1
167
12
AUSTRIA / Austria
3,7
-
-
1
2,2
3
0,5
1
0,1
2
13
BELGIA / Belgium
16,5
10
11,5
10
9,5
1
5,9
1
0,2
2
14
DENMARK / Denmark
0,6
2
4,9
4
0,6
6
37,1
3
17,9
2
15
PERANCIS / France
456,6
8
7,5
21
22,4
27
64,7
21
14,3
17
16
ITALIA / Italy
23,8
8
7,3
11
3,2
16
7,9
13
3,1
4
17
BELANDA / Netherland
319,5
33
405,7
47
48,8
43
1.159,3
36
88,7
26
18
NORWEGIA / Norway
7,7
3
2,9
1
0,3
2
1,6
3
1,8
2
19
JERMAN / German
4.467,8
28
71,0
39
87,2
28
959,5
32
42,6
14
20
SWEDIA / Sweden
4,1
1
4,4
6
5,6
3
0,5
8
17,2
-
21
INGGRIS / United Kingdom
5.473,6
49
4.745,3
72
507,0
79
3.645,5
73
722,9
76
22
SWISS / Switzerland
73,4
8
35,1
9
42,1
5
42,2
3
11,7
10
23
LUXEMBURG / Luxemburg
887,1
-
-
-
-
-
-
1
1,6
-
24
SPANYOL / Spain
3,6
2
3,2
3
1,2
2
12,7
2
0,7
3
25
FINLANDIA / Finland
1,8
2
5,4
1
-
-
-
1
0,1
-
26
CEKOSLOVAKIA / Cechoslovakia
-
1
0,2
1
0,1
2
0,3
-
-
2
27
JIBLARTAR / Gibraltar
0,1
-
-
--
-
-
-
-
-
-
28
IRLANDIA / Ireland
-
-
-
-
-
1
0,2
-
-
-
29
RUSIA / C I S
-
-
-
1
0,2
1
0,1
1
0,1
2
30
HUNGARIA / Hungary
-
1
0,2
-
-
-
-
-
-
-
31
LICHTENSTEN / Lichtensten
0,2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
32
YUNANI / Greece
-
1
0,1
-
-
2
0,3
-
-
2
33
PORTUGAL / Portugal
-
1
0,2
-
-
1
0,2
-
-
-
34
UZBEKISTAN / Uzbekistan
0,2
-
-
-
-
-
-
-
-
-
35
YOGOSLAVIA / Yogoslavia
-
1
0,2
-
-
-
-
-
-
-
36
SLOVENIJA / Rep. of Slovenija
-
2
0,7
-
-
-
-
-
-
-
37
SCOTLANDIA / Scotland
-
1
3,0
-
-
-
-
-
-
-
38
ISLANDIA / Iceland
-
-
-
1
0,9
-
-
-
-
-
39
BELARUSIA / Belarusia
-
-
-
1
0,5
-
-
-
-
-
40
TURKEY / Turkey
6,0
-
-
-
-
-
-
1
0,1
2
41
CZECH REPUBLIK / Czech Republic
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
III.
AFRICA / Africa
93,5
10
75,2
18
66,4
39
564,0
31
560,1
30
42
LIBERIA / Liberia
41,5
1
22,2
-
-
-
-
2
27,0
-
43
NIGERIA / Nigeria
1,0
2
0,8
-
-
-
-
3
0.4
3
44
GHANA / Ghana
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
45
MAURITANIA / Mauritius
51,0
2
51,5
9
64,8
20
169,7
18
523,8
19
46
AFRIKA SELATAN / Rep.S.Africa
-
2
0,3
2
0,3
-
-
-
-
-
47
LIBIA / Lybia
-
-
-
1
0,6
1
1.0
-
-
-
48
MAROCO / Maroco
-
-
-
2
0,2
-
-
-
-
-
49
TANZANIA / Tanzania
-
-
-
-
-
11
132.1
2
8,4
-
50
MESIR / Egypt
-
-
-
-
-
3
0.7
-
-
3
51
SOMALIA / Somalia
-
-
-
-
-
1
260,0
-
-
-
52
MALI / Mali
-
1
0,1
2
0,3
1
0,1
2
0,1
1
53
SUDAN / Sudan
-
-
-
1
0,1
1
0.3
1
0,1
1
54
NIGER / Niger
-
-
-
-
-
1
0,1
-
-
-
55
ALJAZAIR / Aljazair
-
-
-
-
-
-
-
1
0,1
-
56
GUINEA / Guinea
-
-
-
-
-
-
-
1
0,1
1
57
KAMERUN / Kamerun
-
1
0,1
-
-
-
-
-
-
-
58
SINEGAL / Sinegal
-
1
0,2
-
-
-
-
-
-
-
59
KONGO / Congo
-
-
-
1
0,1
-
-
1
0,1
2
IV
ASIA / Asia
15.154,7
543
4.717,3
641
6.487,6
874
3.829,0
818
12.209,9
675
60
JEPANG / Japan
5.417,8
78
1.330,7
71
639,9
93
1.954,8
98
772,0
79
61
KOREA SELATAN / South Korea
1.409,4
112
202,4
204
239,0
267
690,0
285
369,3
228
62
KOREA UTARA / North Korea
-
2
0,4
-
0,7
1
0,5
-
-
-
63
HONG KONG / Hong Kong (SAR)
251,0
18
549,1
14
76,9
13
105,4
15
39,7
12
64
TAIWAN / Taiwan
3.419,4
91
165,4
92
1.490,2
73
131,2
63
74,1
34
65
SINGAPURA / Singapore
2.287,6
127
1.308,3
147
756,7
218
542,2
157
1.143,0
155
66
MALAYSIA / Malaysia
2.289,4
63
1.060,2
50
186,1
75
168,5
106
2.241,0
66
67
THAILAND / Thailand
19,1
4
2,8
2
8,4
6
6,7
4
3,0
6
68
PHILIPINA / Philipine
-
1
62.5
5
4,9
6
7,4
6
2,0
3
69
INDIA / India
5,9
20
14,9
20
12,5
31
59.0
28
6,6
34
70
BRUNEI DAR. / Brunei Dar.
-
-
-
-
-
1
0,2
-
-
-
71
PAKISTAN / Pakistan
-
4
3,8
5
1,6
3
0,3
8
1,3
8
72
SRILANGKA / Ceylon
11.9
2
1,0
-
-
2
0,2
2
0,2
1
73
YORDANIA / Yordan
-
3
1,2
4
1,1
-
-
4
0,6
1
74
R.R.CHINA / China
23.5
6
7,6
15
57,9
43
153,9
34
6.054,8
40
75
PAPUA NUGINI / Papua N. Guines
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
76
SAUDI ARABIA / Saudi Arabia
13.7
4
4,0
5
3.007,3
10
2.0
5
1.501,9
2
77
YAMAN / Yamen Arab Republic
-
2
0,5
-
-
-
-
-
-
2
78
KUWAIT / Kuwait
-
1
0,2
-
-
-
-
-
-
1
79
IRAN / Iran
-
1
0,1
1
0,1
-
-
-
-
-
80
IRAK / Irak
-
-
-
1
2,5
2
0,3
-
-
-
81
BAHRAIN / Bahrain
-
-
-
-
-
1
0,1
-
-
-
82
BANGLADESH / Bangladesh
-
1
0,1
-
-
2
0,3
3
0,4
-
83
ISRAEL / Israel
-
-
-
-
-
1
4,4
-
-
-
84
SYRIA / Syria
-
-
-
-
-
2
1,2
-
-
1
85
MYANMAR / Myanmar
-
-
-
-
-
1
0,1
-
-
-
86
EMIRAT ARAB / Emirat Arab
-
-
-
1
0.1
2
0,2
-
-
1
87
SURIAH / Suriah
-
-
-
-
-
1
0,1
-
-
-
88
LEBANON / Lebanon
-
1
0,1
-
-
-
-
-
-
1
89
NEPAL / Nepal
-
2
2,0
-
-
-
-
-
-
-
90
VIETNAM SELATAN / Vietnam
-
-
-
1
0,6
-
-
-
-
-
91
QATAR / Qatar
-
-
-
2
0,3
-
-
-
-
-
92
SIPRUS / Siprus
-
-
-
1
0,8
-
-
-
-
-
V
AUSTRALIA / Australia
187,5
72
85,1
63
2.459,2
73
62,0
48
255,5
44
93
AUSTRALIA / Australia
187,2
69
84,5
61
2.458,9
70
50,2
48
255,5
39
94
SELANDIA BARU / New Zealand
0,3
3
0,6
1
0,1
3
11,8
-
-
4
95
SAMOA BARAT / New Zeland
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1
96
NAURU / Nauru
-
-
-
1
0,2
-
-
-
-
-
VI
GABUNGAN NEGARA / Joint Countries
5.461,2
139
2.600,7
172
1.001,1
245
4.778,2
192
1.025,8
177

JUMLAH / Total
33.816,1
1.034
13.585,5
1.174
10.892,2
1.524
15.426,2
1.333
15.055,9
1.135
Sumber: BKPM 2007 .





Sedangkan perkembangan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 2003 sampai dengan 2006 dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut:

TABEL 5
PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA


Jenis Investasi

T a h u n

2003

2004

2005

2006

PMDN
(Rp Triliun)

11, 89

15,26

30,66

20,79

PMA
(US$ Miliar)

5,45

4,6

8,91

5,98

Sumber: BKPM 2007 (diolah).

Beberapa usulan konkrit dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui beberapa aksi korektif yang dianjurkan berdasarkan survei, dapat dilihat Tabel 5 berikut:

Table 5
Beberapa Aksi Korektif yang Dianjurkan dan Ditunggu
oleh Pelaku Usaha/Bisnis


Kendala
Masalah
Aksi yang dianjurkan
Penanggung jawab

“Grease money”di jalan, pelabuhan, memproses

· Praktek korupsi begitu sering terjadi sehingga menilbukan biaya ekstra bagi dunia bisnis.
· Perusahaan yang berorien-tasi ekspor mengalami kesulitan dalam menyalur-kan keluhan secara formal baik lewat jalur legal atau administratif.


· Berdasarkan UU No. 28/1999, pejabat harus melaporkan kekayaannya. Hasil audit atas laporan tsb, bila diketemukan adanya indikasi korupsi, maka harus dihukum berat.


Menteri Perhubu-ngan, Menteri Hu-kum dan HAM, Kapolri, pemerintah daerah,








Kendala
Masalah
Aksi yang dianjurkan
Penanggung jawab


Ijin usaha/bisnis, bea-cukai

Meningkatnya jumlah pu-ngutan, baik resmi maupun liar, sepanjang jalur dis-tribusi dan pelabuhan.


· Meningkatkan kapasitas dan kinerja petugas penegak hukum.
· Menyediakan mekanisme dan saluran untuk komplain bagi bisnis tentang pungli maupun pungutan di atas tarif resmi.
· Menghapuskan berbagai bia-ya ekstra dengan mempro-mosikan transparansi dan “Good Governance”.

Pelindo, KPK (Ko-misi Pemberanta-san Korupsi), Men-ko Perekonomian, Jaksa Agung

ETPIK (Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan)

Instruksi dari Menteri Perdagangan dan Perin-dustrian (No.32/MMP/Kep/
1/2003) tentang ETPIK muncul sebagai ham-batan peraturan utama bagi para ekportir di Bali, Jepara, dan Surabaya karena mere-ka bukan produsen produk kayu melainkan pedagang.


· Meski ETPIK didesain untuk mengurangi penebangan liar, tetapi pada kenyataannya, illegal logging tetap ada.
· Beberapa aksi dibutuhkan: (1) Meninjau ulang kebijak-an ETPIK; (2) Mendesen-tralisasi BRIK yang ada di Jakarta ke tingkat provinsi; (3) Mengurangi illegal logging dengan meningkatkan kinerja polisi hutan dan Perhutani; (4)Membolehkan pemerintah provinsi untuk menerbitkan ETPIK.


Menteri Kehu-tanan, Pemerin-tah Provinsi, Menteri Perda-gangan, Menteri Perindustrian.


PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Adanya ketakutan bah-wa Peraturan Pemerin-tah (PP) No. 63/2003 tentang pengenaan PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM) di kawasan berikat mengurangi daya tarik dan kondusifitas iklim bisnis di daerah (misalnya di Batam).

· Pemerintah harus lebih banyak mensosialisasikan peraturan ini.
· Kebijakan yang transparan harus menjadi aspek utama dalam penyusunan peraturan.
· Mengkaji ulang dampak PPN dan PPn BM pada tingkat daya saing perusahan karena peranan bahan baku impor masih substansial.


Menteri Keuang-an, Badan Otori-ta Batam, Pemda, Menteri Perda-gangan, Menteri Perindustrian.


Upah Minimum Regional/
Kota/Kabu-paten/Provin-si
(UMK/P)
• Perubahan Upah Minimum Regional yang dinilai terlalu memberatkan perusahaan.
• Ketidakkonsistenan antara pemerintah-an pusat dan dae-rah.

· Koordinasi dibutuhkan an-tara Pemda dan pemerintah Pusat.
· Mengatur UMK/P berdasar-kan produktivitas tenaga ker-ja dan kemampuan perusaha-an untuk membayar.

Pemda & peme-rintah pusat, Serikat Pekerja, Asosiasi Bisnis.


Sumber: Mudrajad Kuncoro, 2005.

Penutup

Implementasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 sebagai pendorong akselerasi implementasi paket kebijakan bidang penanaman modal
diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif dan dapat meningkatkan realisasi investasi, baik PMA maupun PMDN. Disamping itu dalam rangka menghadapi perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional serta untuk penguatan daya saing perekonomian nasional, perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional. Dengan penciptaan iklim penanaman modal yang kondusif tersebut, diharapkan akan dapat meningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.





















Daftar Pustaka

Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 jo. No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing (PMA);
Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo. No. 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN);
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 jo. No. 83 Tahun 2001 tentang Kepemilikan Saham Asing Dalam PMA;
Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 jo. No. 118 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang dinyatakan Terbuka/Tertutup;
Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981 jo. No. 28 Tahun 2004 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM);
Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka untuk Menengah Atau Besar dengan Syarat Kemitraan.
Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka PMA dan PMDN melalui Sistem Pelayanan Satu Atap;
Keputusan Kepala BKPM No. 57/SK/2004 jo. No. 70/SK/2004 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Dalam Rangka PMA/PMDN;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau Di Daerah-Daerah Tertentu.
Aryanto Tinambunan, Analisis Faktor-Faktor Pemacu Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkualitas, arya@tinambunan web.id.
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Pelayanan Publik Oleh BKPM, Jakarta, 2007.
FISIP UI dan SPF UNI EROPA, Peraturan Perburuhan dan Investasi Modal: Pilihan antara Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja dan Kepastian Hukum, www.akatiga.org/akatiga@akatiga.org.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEMUI), Hasil Survey Perkembangan Iklim Investasi Indonesia, Jakarta, 2007.
Mudrajat Kuncoro, Menanti Reformasi Iklim Bisnis Di Indonesia, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial UNISIA No. 55/XXVIII/I/2005
Ricky Arnold Gggili, Profile Foreign Direct Invesment (FDI) di Indonesia, Jakarta, 2006.
Sri Hartati, Mengembalikan Indonesia ke Investasi Global, Jakarta, 2007.

Tidak ada komentar: