Kamis, 30 Oktober 2008

KONSEP DAN MODEL KERJASAMA KEMITRAAN STRATEGIS:

Oleh : *) Marsono

PENDAHULUAN

Pengembangan kerjasama kemitraan strategis antara Pemda, BUMD, swasta dan masyarakat pada dasarnya erat kaitannya dengan domain administrasi publik melalui “reform to public administration”. Public administration reform di sektor pemerintahan bermuara pada “good governance” sedangkan pada sector swasta (perusahaan) adalah bermuara pada “good corporate governance”. Perubahan paradigma administrasi publik yang merupakan salah satu pendorong tumbuh dan berkembangnya konsep dan model kerjasama kemitraan strategis antara Pemda, BUMD, swasta dan masyarakat telah diilhami oleh beberapa pemikiran yang antara lain adalah David Osborne dan Peter Plastrik dalam “Banishing Bureucracy” yang pada intinya adalah mewirausahakan birokrasi melalui 5 strategi (5 core strategies, 5Cs) dan David Osborne dan Ted Gaebler dalam “Reinventing Government” yang pada intinya adalah mentransformasi semangat wirausaha ke dalam sektor publik, dimana pemerintah harus mampu berperan sebagai katalisator, yang tidak melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat. Selain itu pemerintah harus dapat memberdayakan masyarakat dalam pemberian pelayanan, serta dapat menciptakan persaingan dalam setiap pelayanan, dengan demikian maka sektor usaha swasta dan pemerintah dapat bekerja secara lebih profesional dan efisien.
Sejalan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah, pemerataan dan keadilan, maka efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan yang dihadapi daerah melalui pengembangan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, serta kerjasama kemitraan strategis antara Pemda, BUMD, swasta dan masyarakat.
Sebagai upaya mendorong terwujudnya kerjasama kemitraan strategis tersebut, pemerintah telah mengeluarkan landasan yang cukup kuat bagi pemerintah daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 195 dan 196 yang mengatur tentang pelaksanaan kerjasama antar daerah, Badan Usaha Daerah (BUMD), dengan pihak ketiga.
Pentingnya kerjasama pemerintah daerah dengan BUMD dan swasta menurut Chang & Rowthord dalam Nining I. Soesilo (2000) adalah karena: (1) negara/pemerintah bukan paling hebat dalam menaikkan kesejahteraan rakyat; (2) kegagalan pemerintah lebih serius dari kegagalan swasta; (3) dari sudut pandang institusional economy; (4) negara cenderung reaktif bukan proaktif terhadap pasar.
__________________
*) Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Manajemen Kebijakan
*) Penulis adalah peneliti pada Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur
Disamping itu saat ini telah banyak dikembangkan kerjasama kemitraan strategis baik antar daerah maupun dengan badan usaha daerah (BUMD) serta swasta dan masyarakat. Oleh karena itu melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan pentingnya pengembangan kerjasama kemitraan strategis antara Pemerintah Daerah, BUMD, swasta dan masyarakat; konsep dan model kerjasama kemitraan strategis, model-model kerjasama kemitraan strategis yang telah dikembangkan di beberapa Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia.

KONSEP DAN MODEL KERJASAMA KEMITRAAN STRATEGIS

Pengembangan kerjasama kemitraan strategis khususnya disektor publik pada dasarnya banyak terinspirasi oleh adanya perubahan paradigma administrasi publik sebagaimana disampaikan oleh David Osborne dan Peter Plastrik dalam Mustopadidjaja, AR (2003) yaitu konsep mewirausahakan birokrasi melalui 5 strategi (5 core strategies, 5Cs) yaitu:
q Strategi Inti (Centre Strategy), yakni menata kembali secara jelas mengenai tujuan, peran, dan arah organisasi;
q Strategi Konsekuensi (Consequency Strategy), yakni strategi yang mendorong persaingan sehat guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai;
q Strategi pelanggan (Customer Strategi), yaitu memusatkan perhatian untuk bertanggung jawab terhadap pelanggan. Organisasi harus menang dalam persaingan dan memberikan kepastian mutu bagi pelanggan;
q Strategi Kendali (Control Strategy), yaitu merubah lokasi dan bentuk kendali di dalam organisasi. Kendali dialihkan kepada lapisan organisasi paling bawah, yaitu pelaksanaan atau masyarakat. Kendali organisasi dibentuk berdasarkan visi, dan misi yang telah ditentukan.
q Strategi Budaya (Cultural Strategy), yakni merubah budaya kerja organisasi yang terdiri dari unsur-unsur kebiasaan, emosi dan psikologi, sehingga pandangan masyarakat terhadap budaya organisasi publik inipun berubah (tidak lagi memandang rendah).
Selanjutnya David Osborne dan Ted Gaebler dalam Reinventing Government, yang antara lain menetapkan 10 prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan : 1) Sterring rather than rowing; 2) Empower Comunities to solve their own problems, rather than merely deliver services; 3) Promote and encourage competition, rather than monopolies. 4) Be driven by mission rather than rules; 5) Result oriented by funding outcomes rather than outputs; 6) Meet the needs of the customer rather those of the bureaucracy; 7) Concentrate on earning money rather than just spending it; 8) Invest in preventing problems rather than curing crises; 9) Decentralize authority rather than build hierarchy; 10) Solve problem by influencing market forces rather than by treating public programs.
Dari 10 prinsip reinventing government tersebut ada beberapa prinsip yang perlu dikembangkan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka membangun konsep dan model kerjasama kemitraan strategis antara BUMD, swasta dan masyarakat diantaranya adalah :
q Sterring rather than rowing. Pemerintah Daerah harus dapat berperan sebagai katalisator, yang tidak melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat. Dengan demikian pemerintah daerah perlu lebih mengoptimalkan penggunaan dana dan daya sesuai dengan kepentingan public;
q Empower Comunities to solve their own problems, rather than merely deliver services. Pemerintah daerah harus memberdayakan masyarakat dalam pemberian pelayanannya, ini perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk lebih memberdayakan masyarakat;
q Promote and encourage competition, rather than monopolies. Pemerintah daerah harus dapat menciptakan persaingan dalam setiap pelayanan. Dengan adanya persaingan tersebut, maka sektor usaha swasta dan pemerintah daerah dapat bersaing dan bekerja secara lebih profesional dan efisiensi;
q Meet the needs of the customer rather those of the bureaucracy. Pemerintah daerah harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat, bukan kebutuhan birokrat, hal tersebut dilakukan dalam rangka lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
Terkait dengan kerjasama kemitraan strategis terdapat beberapa konsep dan model yang telah dikembangkan antara lain adalah : (1) kerjasama antar daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota dengan pihak ketiga; (2) kerjasama kemitraan strategis; (3) kerjasama kemitraan dalam bentuk aliansi strategis; dan (4) kerjasama kemitraan terpadu (KKT).

Konsep dan Model Kerjasama Antar Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota dengan Pihak Ketiga

Upaya-upaya pengembangan otonomi daerah yang bertumpu pada potensi dan kapasitas daerah dilakukan melalui berbagai kajian otonomi daerah, dan identifikasi kewenangan daerah. Langkah-langkah ini diarahkan untuk mengurangi kesenjangan yang ada dalam rangka mengoptimalkan potensi daerah untuk kesejahteraan masyarakat. Peningkatan potensi dan kapasitas daerah perlu dilakukan melalui kerjasama kemitraan lintas sector yang bertujuan menciptakan iklim yang kondusif antar Pemerintah Daerah dengan memanfaatkan peluang nasional, regional dan global guna kepentingan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi Negara Undang-undang Dasar 1945.
Sebagai landasan dalam rangka mewujudkan peningkatan potensi dan kapasitas daerah untuk kesejahteraan masyarakat daerah melalui pengembangan kerjasama antar daerah, BUMD, swasta dan masyarakat telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 195 dan 196 yang menyatakan bahwa : (1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, senergi dan saling menguntungkan; (2) Kerjasama dimaksud dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerja sama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama; (3) Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga; (4) Kerja sama antar daerah dan kerjasama dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD.
Selanjutnya Pasal 196 UU 32 tahun 2004 menyatakan bahwa : (1) Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait; (2) Untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat; (3) Untuk pengelolaan kerjasama dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dan untuk menciptakan efisiensi dalam pengelolaan pelayanan publik daerah dapat membentuk badan kerja sama.
Terkait dengan pengembangan kerjasama antara pemerintah daerah, BUMD dan pihak ketiga, sebenarnya sudah diatur sejak tahun 1986, yaitu sejak dikeluarkannya PERMENDAGRI Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyertaan Modal Daerah, dimana terdapat 5 bentuk Kerjasama antara pemerintah dengan swasta, yaitu:
1) Kerjasama bagi hasil usaha,
2) Kerjasama produksi,
3) Kerjasama manajemen,
4) Kerjasama bagi tempat usaha, dan
5) Kerjasama bagi keuntungan.
Dengan dikeluarkannya Permendagri tersebut, maka daerah mempunyai peluang untuk membangun kerjasama antar daerah pemerintah daerah dengan pihak swasta, swastanisasi dan keterlibatan sector swasta dalam kegiatan pemerintahan dan kegiatan yang dikembangkan pemerintah daerah, membeli saham dalam suatu perusahaan perseroan terbatas yang ada (PT), mendirikan perusahaan perseroan terbatas (PT), mengadakan kontrak manajemen, kontrak produksi, kontrak bagi hasil dan kontrak pembagian lokasi bisnis.
Sebagai tindak lanjut Kepmendagri No. 3 tahun 1986, Menteri Dalam Negeri lebih lanjut mengeluarkan PERMENDAGRI No. 4 Tahun 1990, tentang pedoman bagi kerjasama antara perusahaan-perusahaan pemerintah daerah (BUMD) dengan pihak ketiga (sektor swasta), untuk : 1) membentuk perusahaan patungan, operasi bersama, saham keuntungan bersama, pengeluaran bersama, saham produksi bersama; 2) mengadakan negosiasi kontrak manajemen, kontrak produksi, pembagian kontrak produksi, dan pembagian kontrak lapangan; 3) membeli saham-saham dari perusahaan perseroan terbatas lainnya; 4) menetapkan hak penjualan, penggunaan dan distribusi; 5) menjual saham, obligasi, menyebarkan saham; 6) mendapatkan bantuan teknis dan bantuan asing.

Bentuk kerjasama yang bersifat kemitraan strategis antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga (swasta)
Berkaitan dengan kerjasama kemitraan strategis, The Kian Wie (1992) dalam dialog kemitraan dan keterkaitan antara usaha besar dan kecil, menyatakan bahwa “ agar pelaksanaan kerjasama kemitraan dapat berkelanjutan (sustainable) antara satu pihak dengan pihak lain, maka harus berdasarkan pada tiga azas Kerjasama yaitu: (1) saling membutuhkan dengan unsur: motivasi hubungan kerjasama, jenis/ bidang kerjasama dan sistem pengelolaan kerjasama; (2) saling memperkuat dengan unsur: jenis dan syarat kerjasama, dampak dari kerjasama; (3) saling menguntungkan dengan unsur: pengembangan aspek ekonomi dan kesejahteraan, pengembangan aspek cultural.
Bentuk-bentuk kerjasama yang bersifat kemitraan strategis antara Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga yang selama ini telah dikembangkan antara lain :
q Kerjasama Bangun-Kelola-Sewa-Serah (Build, Operate, Lease-hold and Transfer/ BOLT). Merupakan bentuk Kerjasama antara Pemerintah Daerah dan Pihak Kedua yang memberikan hak kepada pihak kedua untuk membangun suatu infrastuktur atau bangunan di atas tanah yang dimiliki Pemerintah Daerah kemudian mengelolanya dengan menyewakan kepada pihak lain. Sebagai imbalan Pemerintah Daerah menerima bagian dari hasil sewa dengan jumlah yang disepakati bersama pihak kedua.
q Kerjasama Bangun-Serah-Sewa (Build, Transfer and Leasehold = BTL). Dalam kerjasama ini pihak kedua membangun infrastruktur di atas tanah Pemerintah Daerah, dan setelah selesai ia menyerahkannya kepada Pemerintah Daerah. Bentuk Kerjasama yang belum banyak dilakukan oleh pemerintah pusat maupun Daerah ini dapat dilakukan untuk membangun infrastruktur berupa hotel, convention hall, dsb.
q Kerjasama Bangun-Sewa-Serah (Build, Rent and Transfer = BRT). Bentuk Kerjasama ini hampir sama dengan BTL, bedanya hanyalah dalam BRT pihak kedua dapat mengelola dan mengoperasikan bangunan atau infrastruktur yang telah dibangunnya dengan cara menyewa kepada Pemerintah, yang diperhitungkan dari biaya pembangunan.
q Kerjasama Bangun-Kelola-Alih Milik (Built, Operate, and Transfer = BOT). Pihak kedua membangun dan mengoperasikan suatu fasilitas infrastruktur yang kemudian dipindah tangankan kepada pemerintah daerah setelah masa konsesi habis.
q Kerjasama Bangun-Guna-Milik (Build Own Operate = BOO). Tidak seperti pada pendekatan BOT, perusahaan swasta yang memenangkan konsensi proyek BOO tetap memiliki hak terhadap proyek tersebut setelah masa konsensi usai. Bentuk kerjasama ini biasanya dilakukan terhadap obyek yang output-nya berkaitan dengan hajat hidup orang banyak misalnya listrik, gas dan sebagainya.
q Kerjasama Bangun-Serah (Build and Tranfer = BT). Dalam kerjasama ini Pemerintah Daerah meminta kepada pihak kedua untuk membangun prasarana di atas tanah milik Pemerintah Daerah. Pihak kedua membangun dan membiayai sampai dengan selesai, dan setelah pembangunan selesai pihak kedua menyerahkan kepada Pemda. Sebagai imbalannya Pemerintah Daerah membayar biaya prasarana ditambah bunga Bank.
q Kerjasama Bangun-Serah-Kelola (Build transfer operate = BTO). Dalam pola ini, pihak swasta membangun suatu fasilitas infrastruktur di atas tanah miliki Pemerintah Daerah dan menyerahkan fasilitas tersebut kepada pemerintah setelah fasilitasnya terbangun.
q Kerjasama Rehabilitasi-Guna-Serah (Renovate, Operate and Transfer = ROT). Dalam kerjasama ini pihak kedua menyediakan modal dan melakukan renovasi atas bangunan atau fasilitas lain yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah hingga nilainya meningkat. Obyek kerjasama ini biasanya dapat dilakukan terhadap pembangunan hotel, pusat perbelanjaan dsb.
q Kerjasama Renovasi-Guna-Sewa-Serah (Renovate, Operate, Leashehold and Tranfer = ROLT). Berbeda dengan bentuk Kerjasama ROT, Pihak kedua merenovasi bangunan atau bentuk fasilitas lain yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah namun untuk menggunakannya ia harus menyewa kepada Pemda.
q Kerjasama Sewa-Tambah dan Guna (Contract, Add and Operate = CAO). Dalam kerjasama ini pihak kedua menyewa dan menambah bangunan dan atau mening-katkan kualitas bangunan dan mengelolanya. Nilai sewa bangunan setiap 2 tahun ditinjau kembali. Jangka waktu kerjasama paling lama 10 tahun.
q Kerjasama Bantuan teknis atau Dana. Dalam kerjasama ini Pemerintah Daerah meminta bantuan berupa tenaga ahli/alih teknologi atau bantuan dana/pembiayaan dari pihak kedua. Kerjasama ini dilakukan untuk bidang usaha yang memerlukan teknologi atau managerial skill dan know how khusus yang tidak dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
q Kontrak Pelayanan (service contract). Dalam pola ini perusahaan swasta menangani suatu pelayanan atau terhadap infrastruktur yang dimiliki pemerintah daerah. Contoh yang dapat dilakukan oleh swasta melalui kontrak pelayanan ini adalah pengumpul-an limbah sampah di kota-kota, pemeliharaan fasilitas air minum dan tenaga listrik, tagihan air minum dan listrik.

Konsep dan Model Kerjasama Kemitraan Strategis Dalam Bentuk Aliansi Strategik

Pengertian aliansi strategik menurut Jones dalam Kajian LAN (2003) adalah suatu kesepakatan yang mengikat dua atau lebih organisasi untuk berbagai sumber daya dalam rangka mengembangkan peluang-peluang usaha bersama. Selanjutnya disebutkan bahwa strategi aliansi stratejik dapat diterapkan baik dalam mengelola sumber daya dalam saling ketergantungan yang bersifat simbiotik maupun yang bersifat kompetitif.
Sedangkan Porter menyebutkan bahwa koalisi atau aliansi merupakan suatu cara untuk memperluas cakupan tanpa memperluas organisasi melalui suatu kontrak dengan organisasi independen untuk mewujudkan nilai atas kegiatan atau melalui pembentukan Tim dengan organisasi independen untuk berbagi nilai atas kegiatan tersebut (Ibid: 2003).
Berdasarkan hasil kajian LAN (2003), aliansi stratejik dipahami sebagai suatu kerjasama dari dua atau lebih pelaku (party/partner, dalam hal ini pemerintah daerah) berdasarkan pada kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan bersama dimana masing-masing pelaku memberikan komitmen, menyumbangkan sumberdaya, dan berperan aktif dalam mengelola (managing, controlling) aliansi dimaksud.

Model-model kerjasama dalam bentuk aliansi stratejik yang telah dikembangkan selama ini antara lain :
q Kerjasama Operasi (KSO), bentuk Kerjasama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (perusahaan Daerah) dengan pihak lain (swasta) untuk mengusahakan suatu peralatan operasi atau fasilitas penyediaan pelayanan (misalnya air bersih), dimana sistem operasi dan kepemilikannya diatur dalam kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama;
q Kerjasama Manajemen (KM), bentuk kerjasama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (perusahaan Daerah) dengan pihak lain untuk menyelenggarakan suatu kegiatan tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan karyawan, baik dalam bidang operasi dan produksi, usaha dan pemasaran sumberdaya manusia, keuangan dan akuntansi, organisasi dan manajemen, hukum dan hubungan masyarakat, sistem informasi, maupun dalam bidang pengkajian dan pengembangan;
q Penyertaan Modal (PM), bentuk kerjasama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (pemerintah daerah/perusahaan Daerah) menyertakan modalnya dalam kegiatan kerjasama usaha;
q Perusahaan Patungan (PP), adalah bentuk kerjasama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (pemerintah daerah/perusahaan Daerah) dengan pihak lain, dimana masing-masing pihak yang terlibat dalam Kerjasama usaha menyertakan modal dan/atau sumberdaya lainnya untuk membentuk suatu badan usaha tertentu. Pembagian resiko dan keuntungan usaha dilakukan menurut kesepakatan berdasarkan penyertaan yang diberikan.


Konsep dan Model Kerjasama Kemitraan Terpadu (KKT)

Kerjasama Kemitraan Terpadu (KKT) adalah suatu program kejasama kemitraan terpadu yang melibatkan beberapa unsur {(pengusaha besar (inti), usaha kecil yang ada dimasyarakat (plasma), perbankan, pemerintah daerah)} dalam ikatan kerjasama yang dituangkan dalam nota kesepakatan bersama. Adapun tujuan kerjasama kemitraan terpadu antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien serta membantu pemda memberdayakan ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan perekonomian daerah.
Model kerjasama kemitraan terpadu antara perusahaan swasta (inti), mayarakat (plasma), perbankan dan pemda yaitu dengan mengadakan kerjasama secara langsung melalui nota kesepahaman (MoU) yang mengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Model kerjasama kemitraan terpadu yang telah dikembangkan selama ini dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:





Gambar 1
Kerjasama Kemitraan Terpadu
(Chanelling Agent Model)
Koperasi
Masyarakat/usaha kecil (plasma)

Perbankan
Pemerintah Daerah
Mitra Swasta
(Inti)













Sumber: Bank Indonesia
(Sistem Informasi Pola Pembiayaan Lending Model Usaha Kecil)

Dengan model kerjasama seperti tersebut di atas, pemberian kredit yang berupa KKPA kepada usaha kecil (plasma) dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Channeling Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh kelompok-kelompok usaha kesil. Sedangkan masalah pembinaan diberikan oleh perusahaan mitra dan pemerintah daerah.
Disamping kerjasama kemitraan terpadu dalam bentuk Chanelling Agent Model tersebut di atas, juga telah dikembangkan kerjasama kemitraan terpadu dalam bentuk Executing Agent Model, sebagaimana terlihat pada gambar dibawah ini :












Gambar 2
Kerjasama Kemitraan Terpadu
(Executing Agent Model )
Koperasi
Masyarakat/usaha kecil (plasma)

Perbankan
Pemerintah Daerah
Mitra Swasta
(Inti)












Sumber: Bank Indonesia
(Sistem Informasi Pola Pembiayaan Lending Model Usaha Kecil)

Dalam model kerjasama kemitraan seperti pada gambar 2 di atas, pemberian KKPA kepada masyarakat/usaha kecil (plasma) dilakukan dengan kedudukan Koperasi sebagai Executing Agent. Pada model kerjasama ini jika pembinaan teknis tidak dapat dilaksanakan oleh perusahaan mitra bersama dengan pemerintah daerah, maka akan menjadi tanggungjawab Koperasi.


Kerjasama Kemitraan Strategis (Model Kluster Bisnis)

Fujita & Thisse dalam Mudrajad Kuncoro (2002) menyatakan bahwa fenomena kluster telah menarik perhatian para ekonom untuk terjun dalam studi dalam masalah lokasi sehingga memunculkan paradigma baru yang disebut geografi ekonomi baru (new economic geography atau geographical economic). Argumen tersebut diperkuat kembali oleh Porter, bahwa peta ekonomi dewasa ini didominasi oleh apa yang dinamakannya kluster (cluster). Selanjutnya definisi kluster menurut Porter adalah konsentrasi geografi dari perusahaan-perusahaan dan institusi-institusi yang saling berhubungan dalam wilayah tertentu. Lebih lanjut Mudrajad Kuncoro menyatakan bahwa kluster industri (Industrial Cluster) pada dasarnya merupakan kelompok produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada hanya satu atau dua industri utama saja.
Beberapa model kerjasama kemitraan strategis dalam bentuk kluster bisnis telah banyak dikembangkan, diantaranya adalah seperti model pada gambar dibawah ini:

Gambar 3
Kerjasama Kemitraan Strategis (Model Kluster Bisnis)
BPS-KPKM
LPB
ASOSIASI
PEMDA
BANK

SENTRA INDUSTRI USAHA SEJENIS
LKM/KSP










Sumber : Kementerian Koperasi UKM 2002

Pada kerjasama kemitraan stratregis model kluster bisnis tersebut di atas, layanan kepada kelompok usaha dapat lebih fokus, kolektif dan efisien, karena dengan sumber daya yang terbatas dapat menjangkau kelompok usaha yang lebih luas. Disamping itu model kluster bisnis ini juga mempunyai efektifitas yang tinggi, karena jelas sasarannya dan unit usaha yang ada pada sentra umumnya mempunyai permasalahan yang sama, baik dari sisi produksi, pemasaran, teknologi maupun permodalan.
Disamping Kerjasama Kemitraan Strategis (Model Kluster Bisnis) tersebut diatas, juga telah dikembangkan kerjasama kemitraan dalam model jaringan bisnis sentra industri, sebagaimana terlihat gambar dibawah ini :
Gambar 4.
Model Jaringan Bisnis Sentra Industri
Pemerintah Daerah
Perbankan
Pemasok Bahan Baku
Perusahaan Besar
LSM
Pengiriman
Barang

Sentra Industri
Dalam Negeri
Luar Negeri











Lembaga KonsultanSumber : Mudrajad Kuncoro, 2003

Pada model kerjasama jaringan bisnis sentra industri ini terdiri dari banyak sekali unit usaha sejenis dengan spesifikasi kegiatan mengolah barang dasar menjadi barang setengah jadi, barang setengah jadi menjadi barang jadi, atau dari yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya.
Untuk menjamin agar pelaksanaan kerjasama kemitraan strategis antara Pemerintah Daerah, BUMD, swasta dan masyarakat dapat berhasil dengan baik, maka perlu diupayakan oleh berbagai pihak yang terkait, yaitu: (1) komitmen, (2) kemitraan, dan (3) pemberdayaan.
1. Komitmen (commitment), merupakan kesepakatan mendalam dari semua pihak yang yang terkait berhubungan dengan upaya mewujudkan suatu keberhasilan. Komitmen hanya dapat tercipta apabila terdapat prakondisi yang mendukung, yaitu antara lain: (a) tersedianya informasi yang sahih dalam organisasi (valid information); (b) kesepakatan untuk membuat pilihan bebas (choice); (c) saling percaya diantara sesama warga organisasi (trust); (d) ketentuan yang konstruktif dan dinamis (openess); (e) mengembangkan rasa tanggungjawab pada organisasi (responsibility); (f) keterlibatan setiap warga untuk berkonsultasi secara optimal (involvement).
2. Kemitraan (Alignment) yaitu adanya kebersamaan dalam kesetaraan untuk mencapai satu kesamaan derap langkah, irama dan arah perjalanan organisasi. Kemitraan juga bermaksud penggalangan kekuatan untuk menciptakan nilai tambah dari ikatan yang telah dibuat bersama. Beberapa kondisi yang diperlukan demi terwujudnya kemitraan antara lain: (a) adanya tata nilai, suasana dan kekuasaan menjadi mitra bersama (shared values, norms and power); (b) adanya suasana kesederajatan dalam berbagai aspek kerjasama (equality); (c) adanya jaringan kerja yang saling menunjang pertumbuhan bersama (networking); dan (d) adanya kerjasama yang efektif dan produktif (collaboration).
3. Pemberdayaan (Empowerment), yaitu adanya proses transformasi ataupun instruksi dari berbagai pihak yang berdampak pada saling menumbuhkan, saling meningkatkan, saling memperkuat dan menambah nilai daya yang secara potensial terdapat dalam organisasi untuk diarahkan sebagai energi organisasi dalam mencapai tujuan bersama. Beberapa kondisi yang perlu diciptakan untuk dapat mewujudkan pemberdayaan, antara lain: (a) adanya dorongan untuk berani mencoba mengambil bagian dalam proses pembaharuan yang dilakukan dalam organisasinya (encouragement); (b) diberikannya tantangan bagi para pelaksana pembaharuan untuk dapat bergerak dan termotivasi dalam proses pembaharuan (chalenger); (c) diberikannya peluang untuk terlibat dan mengambil peran dalam proses pembaharuan (opportunity); (d) pemberian kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan diberikan bimbingan dalam dalam mencoba melaksanakan suatu inovasi (training and guidance); (e) pemberian dukungan baik moril maupun pendukung lainnya, sehingga pihak yang bersangkutan dapat ikut dalam proses pembaharuan (support); (f) disediakannya penghargaan yang tepat untuk setiap keberhasilan dalam melaksanakan atau mencoba suatu pembaharuan (reward).


PENUTUP

Adanya keterbatasan dan ketimpangan baik potensi maupun sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah daerah, mensyaratkan pemerintah daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk menggali potensi daerahnya melalui pengembangan kerjasama kemitraan strategis baik itu antar daerah maupun dengan badan usaha daerah (BUMD), swasta dan masyarakat.
Terdapat beberapa dasar pertimbangan yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam rangka mengembangkan kerjasama kemitraan strategis antar daerah, BUMD, swasta dan masyarakat, yaitu antara lain: (a) Efisiensi dan kualitas; kerjasama kemitraan merupakan sarana dalam rangka meningkatkan efisiensi dan peningkatan kualitas pelayanan (service delivery) publik kepada masyarakat. Persyaratan ini menjadi sangat penting manakala kemitraan yang dibangun adalah dengan pihak swasta melalui penyertaan modal ataupun bentuk kontrak (contracting out); (b) Efektivitas; setiap organisasi dalam rangka mencapai tujuannya dituntut untuk mencapai sasaran yang ditetapkan semaksimal mungkin (efektif) dan dengan menggunakan sumber daya sekecil mungkin (efisien). Namun demikian seringkali suatu organisasi tidak mampu mencapai tujuannya secara efektif karena berbagai dinamika internal yang sering memunculkan resistensi. Dinamika internal ini cenderung mematikan kreativitas organisasi. Dalam hal ini organisasi dihadapkan pada monitoring dan pengendalian terhadap dinamika internal untuk mencegah terganggunya pencapaian tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Untuk meningkatkan kemampuan monitoringini suatu organisasi perlu mendelegasikan pekerjaan pada pihak lain dalam suatu sistem kontrak. Dengan sistem kontrak ini, pemilik akan lebih mudah mengontrol hasil pekerjaan sebagaimana yang diharapkan sehingga hasil yang diinginkan bisa tercapai secara efektif; (c) Memacu dinamika organisasi; dengan membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi mitra kerjasama pemerintah maka hal ini akan membuka peluang usaha lebih banyak bagi masyarakat. Sebagaimana diketahui jumlah pengeluaran pemerintah merupakan bagian yang sangat besar dalam kehidupan ekonomi nasional. Apabila jumlah uang tersebut dialirkan ke swasta atau masyarakat maka ini akan memacu pertumbuhan dinamika kehidupan sosial ekonomi masyarakat; (d) Berbagi resiko dan keuntungan (risk and benefit sharing); setiap kegiatan selalu membawa resiko. Dengan Kerjasama yang dibangun dengan pihak lain maka diharapkan resiko yang akan terjadi dapat dibagi rata (risk sharing) dengan pihak mitranya.


REFERENSI

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyertaan Modal Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1990 tentang Pedoman Kerjasama antara Perusahaan Daerah dengan Pihak Ketiga.
Chang & Rowthord dalam Nining I. Soesilo, “Reformasi Pembangunan Perlu Pendekatan Manajemen Strategik, Jakarta, FE-UI, 2000.
Mudrajad Kuncoro & Irwan Adimaschandra S., Analisis Formasi Keterkaitan, Pola Kluster dan Orientasi Pasar, Jurnal Empirika Volume 16 No. 1 Juni 2003.
Osborne & Gaebler dalam Abdul Rosyid, “Mewirausahakan Birokrasi: mentransformasi semangat wirausaha dalam sector public”, Jakarta, Pustaka Binaman Pressindo, 1996.
Osborne & Peter Plastrik dalam Mustopadidjaja, AR, “Paradigma-Paradigma Pembangunan: Dan saling hubungannya dengan model, strategi, dan kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan”, Jakarta, 2003.
Porter, M.E., Cluster and the New Economic of Competition, Harvard Business Review, November-December (6) 77-91, 1998.
The Kian Wie, Dialog Kemitraan dan Keterkaitan Antara Usaha Besar dan Kecil, PT. Gramedia, Jakarta, 1992.
Bank Indonesia, Sistem Informasi Pola Pembiayaan: Lending Model Usaha Kecil, Jakarta, 2005.
Kementrian Negara Koperasi dan UKM, Pengembangan Kerjasama Kemitraan UKMK, Koperasi dan Masyarakat, Jakarta, 2002.
Lembaga Administrasi Negara, Kajian Implementasi Aliansi Stratejik Pada KAPET, Jakarta, 2003.

1 komentar:

yngvarabegglen mengatakan...

RYAN casino no deposit bonus codes | DRMCDC.COM
Nov 29, 밀양 출장샵 2021 · RYAN casino no deposit bonus codes. For a 천안 출장샵 limited time only. Only players 울산광역 출장안마 who 시흥 출장마사지 are 삼척 출장마사지 21 years or older