Kamis, 30 Oktober 2008

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI MELALUI PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS KINERJA

Oleh:
Marsono *)

Dipublikasikan Dalam Majalah Indonesian Public Administration Review,
Vol 2 Edisi Maret 2008

ABSTRAK
Upaya pemberantasan korupsi yang selama lebih dari 40 tahun telah dilakukan,
sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Sehingga memberantas korupsi harus dilakukan baik secara represif maupun preventif. Secara represif adalah upaya penindakan atas pelaku korupsi (dalam kerangka hukum nyata) yang dilakukan dengan keras dan tegas disertai dengan upaya maksimal pengembalian kerugian negara yang ditimbulkan. Hal ini diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan calon pelaku lain berfikir dua kali untuk melakukan korupsi. Sedangkan secara preventif, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan manajemen berbasis kinerja secara baik dan konsisten, yang diyakini secara preventif dapat meminimalisir tindak pidana korupsi.


Pendahuluan

Reformasi administrasi publik yang terjadi selama kurun waktu 25 tahun terakhir ini pada dasarnya berfokus pada konsep manajemen berbasis kinerja dan efektivitas. Gerakan pembaharuan administrasi publik yang disebut New Public Management (NPM) atau reinvention adalah upaya meningkatkan kinerja. Reformasi administrasi publik yang terus bergulir tersebut sangat dipengaruhi oleh konsep New Publik Management (NPM) yang diperkenalkan oleh Christopher Hood pada tahun 1991. Konsep NPM terkait dengan manajemen kinerja sektor publik, karena pengukuran kinerja menjadi salah satu prinsip NPM. Dalam fase perkembangan selanjutnya konsep Reinventing Government telah merubah fokus akuntabilitas dari orientasi pada masukan (Input Oriented Accauntabilitiy) dan proses kearah akuntabilitas pada hasil (Result Oriented Accountability).

Selanjutnya terkait dengan paradigma penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) telah menjadi trend masyarakat dunia, bahkan paradigma tersebut telah menjadi sebuah prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita dalam berbangsa dan bernegara. Dalam mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara tersebut, peranan pemerintah dalam penyelenggaraan negara pada umunya mencakup dua kelompok fungsional, yaitu: (a) dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum, yang antara lain meliputi penciptaan dan pemeliharaan rasa aman dan pengaturan ketertiban, pertahanan dan keamanan, penyelenggaraan hubungan diplomatik, serta pemungutan pajak; (b) dalam rangka penyelenggaraan fungsi pembangunan, seperti pembangunan bangsa serta pembangunan ekonomi dan sosial yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat .

Untuk dapat menyelenggarakan fungsi sebagaimana tersebut di atas, tentu dibutuhkan dukungan berbagai sumber daya dan komitmen dari semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat. Disamping itu pemerintah juga dituntut untuk transparan dan akuntabel dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga benar-benar dapat diwujudkan penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance).

Upaya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tersebut, diperlukan suatu sistem manajemen berbasis kinerja yang mampu mengukur kinerja dan keberhasilan instansi pemerintah, dengan demikian akan tercipta legitimasi dan dukungan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Tanpa adanya sistem manajemen berbasis kinerja yang baik, niscaya akan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, yang pada gilirannya juga akan menghambat terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance).
Manajemen berbasis kinerja merupakan suatu metode untuk mengukur kemajuan program atau aktivitas yang dilakukan organisasi publik/instansi pemerintah dalam mencapai hasil atau outcome yang diharapkan oleh semua pihak (stakeholders). Dalam Performance Management Handbook Departemen Energi USA, manajemen berbasis kinerja didefinisikan sebagai berikut: ”Performance based management is a systematic approach to performance improvement trough an on going process of establishing strategic performance objectives; measuring performance; collecting; analyzing; reviewing; and reporting performance data; and using that data to drive performance improvement” (Manajemen berbasis kinerja merupakan suatu pendekatan sistematik untuk memperbaiki kinerja melalui proses berkelanjutan dalam penetapan sasaran-sasaran kinerja strategik, mengukur kinerja; mengumpulkan; menganalisis; menelaah; dan melaporkan data kinerja serta menggunakan data tersebut untuk memacu perbaikan kinerja).

Selanjutnya Amstrong (1994) menyatakan bahwa manajemen berbasis kinerja berkenaan dengan proses kerja, manajemen, pengembangan dan imbalan yang saling berhubungan. Lebih lanjut dikatakan bahwa manajemen kinerja dapat menjadi suatu kekuatan penggabung yang amat kuat, memastikan bahwa proses tersebut dihubungkan secara tepat sebagai bagian fundamental dari pendekatan manajemen sumber daya manusia yang harus dilaksanakan dalam organisasi.

Selanjutnya menurut Surya Dharma (2005), manajemen berbasis kinerja adalah suatu cara untuk mendapatkan hasil yang lebih baik bagi organisasi, kelompok dan individu dengan memahami dan mengelola kinerja sesuai dengan target yang telah direncanakan, standar dan persyaratan kompetensi yang telah ditentukan. Dengan demikian manajemen berbasis kinerja adalah sebuah proses untuk menetapkan apa yang harus dicapai, dan pendekatannya untuk mengelola dan pengembangan manusia melalui suatu cara yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa sasaran akan dapat dicapai dalam suatu jangka waktu tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Sedangkan pengertian kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan yang dicapai suatu organisasi sesuai dengan target atau sasaran yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Istilah “kinerja” merupakan terjemahan dari kata performance, yang menurut The Scribner-Bantam English Dictionary, terbitan Amerika Serikat dan Canada (1979), berasal dari akar kata “to perform” dengan beberapa “entries” yaitu: (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry out, execute); (2) memenuhi atau melaksanakan kewajiban suatu niat atau nazar (to discharge of fulfill; as vow); (3) melaksanakan atau menyempurnakan tanggungjawab ( to execute or complete an understaking); dan (4) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin (to do what is expected of a person machine).

Selanjutnya dalam Encyclopedia of Public Administration and Public Policy (2003) , disebutkan bahwa kinerja menggambarkan sampai seberapa jauh organisasi tersebut mencapai hasil ketika dibandingkan dengan kinerjanya terdahulu (previous performance), dibandingkan dengan organisasi lain (benchmarking), dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan dan target yang telah ditetapkan. Untuk dapat melakukan perbandingan tersebut atau pengukuran pencapaian tujuan tersebut, dibutuhkan suatu definisi operasional yang jelas tentang tujuan dan sasaran, output dan outcome kegiatan, dan pendefinisian terhadap tingkat kualitas yang diharapkan dari output dan outcome tersebut, baik secara kuantitatif ataupun secara kualitatif.

Terkait dengan pengertian kinerja, Otley (1999) menyatakan bahwa kinerja mengacu pada sesuatu yang terkait dengan kegiatan melakukan pekerjaan, dalam hal ini meliputi hasil yang dicapai kerja tersebut. Selanjutnya Rogers (1994) berpendapat bahwa kinerja didefinisikan sebagai hasil kerja (outcomes of work), karena hasil kerja memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tujuan-tujuan strategik organisasi, kepuasan pelanggan, dan kontribusi ekonomi. Lebih lanjut pengertian kinerja (kinerja instansi pemerintah) menurut (LAN: 2003) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Oleh karena itu, kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu organisasi dihubungkan visi dan dengan misi yang diemban. Kinerja juga merupakan tingkat efisiensi dan efektivitas serta inovasi dalam pencapaian tujuan oleh pihak manajemen dan unit-unit kerja yang ada dalam organisasi.

Dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa inti dari manajemen berbasis kinerja adalah bahwa manajemen berbasis kinetrja memberikan perhatian terbesarnya kepada hasil atau results, dan karena perhatiannya pada hasil itulah maka fokus manajemen berbasis kinerja adalah “the future”. Akan selalu muncul pertanyaan tentang apa yang diperlukan dan bagaimana bekerja agar mendapatkan hasil yang lebih baik.

Pertanyaan ini tergambar dalam siklus kerja organisasi mulai dari penyusunan perencanaan stratejik dan penganggaran kinerja; pelaksanaannya; pengukuran kinerjanya; evaluasi kinerja; serta penggunaan informasi hasil evaluasi untuk perbaikan. Setiap siklus tidak bersifat statis, selalu dirancang untuk bergerak mengikuti atau bahkan mengantisipasi perubahan.

Perencanaan stratejik. Perencanaan strategik harus mencakup: (a) pernyataan visi, misi, strategi dan faktor-faktor keberhasilan organisasi; (b) rumusan tujuan, sasaran dan uraian aktivitas organisasi; dan (c) cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Rencana strategis yang telah disusun tersebut, lebih lanjut dijabarkan ke dalam Perencanaan Kinerja. Dalam proses perencanaan kinerja didefinisikan seluruh sasaran, program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran, yang kemudian diformulasikan dalam Rencana Kinerja.

Penganggaran kinerja. Di dalam Rencana Kinerja dijabarkan dan ditetapkan angka target kinerja tahunan untuk seluruh indikator kinerja yang ada pada tingkat sasaran dan kegiatan. Angka target kinerja tersebut akan menjadi komitmen bagi organisasi untuk mencapainya dalam satu periode tahunan. Selanjutnya dokumen rencana kinerja akan menjadi dasar bagi penyusunan dan pengajuan anggaran kinerja (performance based budgeting) serta sebagai dasar bagi suatu kesepakatan tentang kinerja yang akan diwujudkan (performance agreement) (Ismail Mohamad, dkk; 2004).

Pelaksanaannya. Untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah ditetapkan dalam perencanaan kinerja, maka dalam pelaksanaannya suatu instansi pemerintah dapat menyusun atau mengeluarkan berbagai kebijakan yang dapat dijadikan acuan dalam pencapaian target kinerja yang telah ditetapkan.

Pengukuran kinerja. Dalam bukunya “The Government Performance Result Act of 1993, James B. Whittaker menyebutkan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas, serta untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran (goals and objectives). Element kunci dan sistem pengukuran kinerja adalah: (a) perencanaan dan penetapan tujuan; (b) pengembangan ukuran yang relevan; (c) pelaporan formal atas hasil; dan (d) penggunaan informasi. Pengukuran kinerja sangat tergantung dengan indikator kinerja yang digunakan. Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/kualitatif yang telah disepakati dan ditetapkan, yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan (ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going), maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi (ex-post). Gambaran secara utuh mengenai kerangka pengukuran kinerja sebagai berikut: (Mahmudi; 2005).



















Siklus Manajemen Berbasis Kinerja

Kebutuhan Masyarakat
(Needs Assessment)



Visi & misi


Tujuan

Sasaran & Inisiatif Strategik, target


Program


Cost (Anggaran)
Cost of Input (Ekonomi)

Input
Cost Efficiency


Efisiensi (Produktivitas)Proses (Implementasi)
Cost Effectiveness


Output
Efektivitas

Outcome
Kepuasan Pelanggan
Net Social Benefit

Benefit

Impact







Evaluasi kinerja.

Evaluasi kinerja diartikan sebagai kegiatan untuk menilai atau melihat keberhasilan dan kegagalan suatu instansi pemerintah atau unit kerja dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang dibebankan kepadanya. Evaluasi kinerja merupakan analisis dan interprestasi keberhasilan atau kegagalan pencapaian kinerja, dan sekaligus sebagai suatu proses umpan balik atas kinerja yang lalu dan mendorong adanya perbaikan kinerja dimasa mendatang. Oleh karena itu, evaluasi kinerja pada dasarnya adalah kegiatan penilaian yang dilandasi semangat internal audit untuk mengukur tingkat pencapaian kinerja organisasi.
Adapun manfaat evaluasi kinerja adalah sebagai berikut: (a) untuk perbaikan perencanaan, strategi, dan kebijakan; (b) untuk pengambilan keputusan; (c) untuk tujuan pengendalian program/kegiatan; dan (d) untuk perbaikan input, proses dan output, serta perbaikan tatanan atau sistem dan prosedur.

Sifat manajemen berbasis kinerja ini menuntut adanya komitmen pimpinan instansi dan penetapan indikator kinerja yang tepat. Pada setiap tingkatan, manajemen berbasis kinerja harus menggambarkan: (1) jajaran pimpinan tahu pasti apa yang menjadi tujuan organisasi; (2) jajaran pimpinan tahu apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan; (3) jajaran pimpinan tahu bagaimana mengukur kemajuan dalam mencapai tujuan, dan (4) jajaran pimpinan dapat mendeteksi dini adanya masalah/hambatan dan mengatasinya.

Saat ini manajemen modern menuntut peran lebih besar dari para manajer/piminan organisasi. Kalau dulu cukup dengan delivery of high quality services that meet the needs of customers and stakeholders, kini tuntutan meningkat menjadi doing more within the constraints of available resources. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa dengan manajemen berbasis kinerja, transparansi; partisipasi, dan akuntabilitas dalam organisasi akan lebih baik.


Konsepsi/Batasan Korupsi

Istilah korupsi berasal dari Bahasa Latin, corruptio, corruptus. Kata tersebut mengandung arti suatu perbuatan buruk, busuk, bejat, dapat disuap, tidak bermoral, dan pasti tidak suci. Sedangkan korupsi dalam Bahasa Arab dikenal istilah riswah, artinya penggelapan, kerakusan, amoralitas, dan segala penyimpangan kebenaran.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) “Korup” berarti buruk, rusak, busuk, suka menerima uang sogok, dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Sedangkan “mengorup” artinya merusak, menyelewengkan (menggelapkan) barang (uang) milik perusahaan (negara) tempat kerjanya. ”Korupsi” penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain, penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi.

Koupsi (corruption) menurut A.S. Hornby (1963) ialah ”the offering and accepting of bribes” (penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap), disamping diartikan juga ”decay” yaitu kebusukan/kerusakan. Yang busuk/rusak ialah moral atau akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi sesuai arti corruptus atau corruptio a.l. moral pervension (kerusakan moral).

Selanjutnya David M. Chalmers dalam Encyclopedia Americana, Americana Corporation, Volume 8,p. 22 menyinggung juga mengenai suap ini dengan memasukkan dalam pengertian korupsi ”Disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public interest and welfare, with or without the implied payment of money, is usually considered corrupt” (Pembayaran samar-samar dalam bentuk pemberian hadiah-hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah-hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh (kedudukan) sosial dan hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi).

Lebih lanjut dikatakan ” ......... financial manipu-lations and decisions injurious to the economy. The term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies .........” (manipulasi-manipulasi dan keputusan-keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian. Istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan-kesalahan dalam pengambilan keputusan oleh pejabat-pejabat yang menyangkut bidang-bidang perekonomian umum).

Disamping pengertian korupsi sebagaimana tersebut di atas, David M. Chalmers juga menguraikan bentuk korupsi yang lain, yaitu yang dinamakan ”political corruption” (korupsi politik). Sedangkan yang dimaksud korupsi politik ialah ”Electoral corruption includes purchase of votes with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation, an inteference with freedom of election. Corruption in office involves sale of legislative votes, administrative of judicial decision, or governmental ap-pointment” (Korupsi pada pemilihan termasuk memperoleh suara dengan uang, janji-janji tentang jabatan atau hadiah-hadiah khusus, paksaan, intimidasi dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara-suara dalam legislatif, keputusan administratif atau keputusan pengadilan, atau pengangkatan/penunjukan oleh pemerintah).

Sedangkan pengertian korupsi menurut Sleifer and Vishny (1993) adalah penjualan barang-barang milik pemerintah oleh pegawai negeri untuk keuntungan pribadi. Sebagai contoh, pegawai negeri sering menarik pungutan liar dari perizinan, lisensi, bea cukai, atau pelarangan masuk bagi pesaing. Para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya atau untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya. Pada kasus ini, karena korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi, korupsi memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan.

Selanjutnya S.H. Glendoh (1997) berpendapat bahwa korupsi direalisasi oleh aparat birokrasi dengan perbuatan menggunakan dana kepunyaan negara untuk kepentingan pribadi yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum. Korupsi tidak selalu identik dengan penyakit birokrasi pada instansi pemerintah, pada instansi swastapun sering terjadi korupsi yang dilakukan oleh birokrasinya, demikian juga pada instansi koperasi. Korupsi merupakan perbuatan tidak jujur, perbuatan yang merugikan dan perbuatan yang merusak sendi-sendi kehidupan instansi, lembaga, korps dan tempat bekerja para birokrat. Dalam kaitan ini korupsi dapat berpenampilan dalam berbagai bentuk, antara lain kolusi, nepotisme, uang pelancar, dan uang pelicin.

Selanjutnya Glendoh menyebutkan bahwa kolusi adalah sebuah persetujuan rahasia diantara dua orang atau lebih dengan tujuan penipuan atau penggelapan melalui persekongkolan antara beberapa pihak untuk memperoleh berbagai kemudahan untuk kepentingan mereka yang melakukan persekongkolan. Sedangkan nepotisme adalah kebijakan mendahulukan saudara, sanak famili serta teman-teman. Nepotisme dapat tumbuh subur di Indonesia karena budaya partrimonial yang lengket sejak jaman dahulu. Sedangkan uang pelancar sering timbul karena tata cara kerja dan kebiasaan dalam kantor-kantor sangat berbelit-belit dan berlambat-lambat, sehingga keinginan untuk menghindari kelambatan ini merangsang pertumbuhan kebiasaan-kebiasaan tidak jujur. Uang pelicin merupakan bentuk korupsi yang sudah umum terutama dalam hubungan dengan hal-hal pemberian surat keterangan, surat ijin dan sebagainya. Yang mereka inginkan adalah supaya berkas-berkas surat dan komunikasi cepat jalannya, sehingga keputusan dapat diambil dengan cepat pula.

Berkaitan dengan korupsi, Syed Hussain Alatas (1987) membedakan jenis-jenis korupsi menurut tipologinya sebagai berikut:
(1) Transactive corruption. Adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dan pemerintah.
(2) Exortive corruption. Merupakan jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.
(3) Investive corruption. Yaitu pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
(4) Nepotistic corruption. Adalah penunjukkan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
(5) Defensive corruption. Perilaku korupsi dengan pemerasan, korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
(6) Autogenic corruption. Perbuatan korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri. Misalnya dalam hal pembuatan laporan keuangan yang tidak benar.
(7) Supportive corruption. Tindakan-tindakan yang dilakukan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada. Misalnya menyewa preman untuk berbuat jahat, menghambat pejabat yang jujur dan cakap agar tidak menduduki jabatan tertentu dan sebagainya.

Dari uraian tentang pengertian korupsi tersebut diatas, Baharuddin Lopa (1997) berpendapat bahwa pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah:
”Suatu tindak pidana penyuapan dan perbuatan melawan hukum yang merugikan/dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat. Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi di bidang materiil, sedangkan korupsi di bidang politik dapat berwujud berupa memanipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan dan atau campur tangan yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih, komersialisasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif di bidang pelaksanaan pemerintahan”.

Lebih lanjut Baharuddin Lopa menyatakan bahwa terdapat 11 (sebelas) faktor penyebab korupsi di Indonesia, yaitu: (1) kerusakan moral; (2) kelemahan sistem; (3) kerawanan sosial ekonomi; (4) tindakan hukum yang belum tegas; (5) seringnya pejabat minta sumbangan; (6) pungli; (7) kurangnya pengertian tentang tindak pidana korupsi; (8) penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang serba tertutup; (9) lemahnya kontrol DPR; (10) lemahnya perundang-undangan dan gabungan dari sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi.

Definisi korupsi secara spesifik memang tidak muncul secara ekplisit dalam berbagai peraturan perundang-undang yang mengatur tentang korupsi. Begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga tidak memberikan rumusan tegas tentang korupsi. Namun demikian berdasarkan rumusan pasal-pasal yang ada dalam Undang-undang tersebut, sesungguhnya korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Suatu perbuatan setiap orang, dalam arti orang perseorangan atau korporasi, yang melawan hukum dengan maksud atau tujuan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Perbuatan melawan hukum tersebut dapat berupa penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan, kesempatan, sarana atau kedudukan yang ada pada dirinya, melakukan penggelapan uang atau surat berharga, memalsukan, memberikan uang sogok/pelican atau janji-janji, atau berbuat curang”.


Kebijakan Pemberantasan Korupsi

Upaya pemberantasan korupsi yang selama lebih dari 40 tahun telah dilakukan, sampai saat ini belum menunjukkan hasil seperti yang kita harapkan. Komitmen dalam memberantas korupsi tidaklah mengenal orde, dimulai sejak tahun 1950-an dan sudah melalui lima (5) kali perubahan peraturan perundang-undangan yang dibentuk khusus untuk pemberantasan korupsi. Disamping itu, dari sisi komitmen politik nasional untuk memberantas korupsi termasuk untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, sebenarnya telah dimiliki bangsa Indonesia. Hal ini didasarkan pada ketetapan-ketetapan MPR-RI tahun 1998, yaitu pada Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998, dimana keinginan untuk memberantas korupsi telah dinyatakan sebagai be-
rikut: ”Meningkatkan keterbukaan pemerintahan dalam pengelolaan usaha untuk
menghilangkan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta praktek-praktek ekonomi lainnya yang merugikan negara dan rakyat. Menumbuhkan pemerintah yang bersih sebagai pelayan masyarakat dan bertindak berdasarkan undang-undang dalam rangka lebih meningkatkan kredibilitas pemerintah di mata rakyat. Menyiapkan sarana dan prasarana serta program aksi bagi tumbuhnya suasana yang sehat bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.”
Selanjutnya dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 keinginan untuk memberantas korupsi kembali dinyatakan, sebagai berikut: ”Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme”.
Atas dasar Ketetapan-ketetapan MPR yang secara tegas untuk memberantas korupsi dan menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana tersebut di atas, maka pada hakekatnya persyaratan mutlak yang harus dimiliki bangsa Indonesia agar ada komitmen politik nasional yang resmi untuk melakukan pemberantasan korupsi telah terpenuhi. Namun demikian upaya pemberantasan korupsi sampai saat ini belum memperoleh hasil yang optimal. Hal ini disebabkan antara lain karena masih adanya perbedaan pandangan tentang korupsi diantara para penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan.

Pada era reformasi saat ini, pemberantasan korupsi telah menjadi agenda utama gerakan reformasi yang bergulir sejak tahun 1998. Beberapa perangkat hukum yang mengatur soal pemberantasan korupsi dan penciptaan aparat pemerintah yang bersih dan bertanggungjawab yang ditetapkan sejak tahun 1998 antara lain adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi adalah antara lain Keppres Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsmen Nasional, sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsmen Nasional; PP Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah; dan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Istilah pemberantasan korupsi biasanya dikaitkan dengan kegiatan melakukan penindakan atas suatu tindak perkara korupsi, artinya melakukan sesuatu setelah korupsi terlanjur terjadi. Belum banyak yang menyadari bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 1 poin 3 dikatakan bahwa:
“Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Sehingga memberantas korupsi harus dilakukan baik dari sisi represif maupun preventifnya. Pada sisi represif adalah upaya penindakan atas pelaku korupsi yang dilakukan dengan keras dan tegas disertai dengan upaya maksimal pengembalian kerugian Negara yang ditimbulkan. Hal ini diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan calon pelaku lain berfikir dua kali untuk melakukan hal serupa.

Dari sisi preventif, kesempatan/opportunity untuk berkembangnya perilaku koruptif harus ditekan/dihilangkan. Ini merupakan pekerjaan besar karena melibatkan seluruh sistem yang berarti juga menuntut peran aktif seluruh stakeholders pemberantasan korupsi, yaitu: aparat pemerintahan; dunia usaha; dan masyarakat.

Upaya Pemberantasan Korupsi Melalui Penerapan Manajemen Berbasis Kinerja

Keterkaitan antara pemberantasan korupsi dengan penerapan Manajemen Berbasis Kinerja adalah bahwa penerapan Manajemen Berbasis Kinerja secara konsisten diyakini akan dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber-sumber daya secara keseluruhan. Dengan penetapan target kinerja yang jelas dan terukur serta penganggaran yang berbasis kinerja, dari sisi preventif dapat mencegah berkembangnya perilaku koruptif.

Korupsi (Corruption, C) merupakan akibat dari adanya Kekuasaan (Power, P) yang tidak diikuti dengan Akuntabilitas (Accuntability, A). Kekuasaan berasal dari penyelenggara Negara dan pengusaha jahat yang berkonspirasi dan berkolusi dengannya yang mendapatkan kesempatan (Opportunity) untuk melakukan korupsi karena merasa tidak perlu memberikan pertanggungjawabannya kepada publik (akuntabilitas). Korupsi mengakibatkan suatu pemerintahan yang buruk (bad government) yang pada satu sisi membebankan semua biaya atas berjalannya pemerintahan kepada rakyat dan pada sisi tersebut. Korupsi menyebabkan kemiskinan (poverty) yang karena kebutuhan hidupnya (needs) pada akhirnya juga melakukan korupsi walaupun berada pada tingkat kecil. Adanya kesempatan untuk melakukan korupsi pada akhirnya melibatkan pihak-pihak lain untuk juga ikut-ikutan (exposure) melakukan korupsi karena merasa bahwa korupsi sudah merupakan hal yang biasa dan menjadi budaya. Ini merupakan pekerjaan besar karena melibatkan seluruh sistem yang berarti juga menuntut peran aktif seluruh stakeholders pemberantasan korupsi, yaitu: aparat pemerintahan; dunia usaha; dan masyarakat.

Penerapan dan pembaharuan manajemen berbasis kinerja di Indonesia sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak diterbitkannya Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), yang selanjutnya diterbitkan pula Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 yang terkait dengan Penetapan Kinerja sebagai bagian yang integral dari Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) sebagai upaya dalam membangun kepemerintahan yang berorientasi pada hasil. Sedangkan kebijakan yang lebih operasional yaitu Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor : 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Sistem AKIP yang merupakan salah satu wujud dari penerapan manajemen berbasis kinerja mencakup: (a) perencanaan strategik yang memuat visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi (cara mencapai tujuan dan sasaran); (b) perencanaan kinerja yang meliputi sasaran, program, kegiatan dan indikator kinerja; (c) pengukuran kinerja yang mencakup kinerja kegiatan dan kinerja sasaran; (d) pelaporan kinerja yang dituangkan dalam dokumen Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Pada perkembangan selanjutnya juga telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.

Terkait dengan penerapan manajemen berbasis kinerja tersebut, Shahruddin Rasul (2005) menyatakan bahwa:
”Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang telah diterapkan di Indonesia memiliki beberapa komponen yang memenuhi kriteria dalam siklus manajemen berbasis kinerja, yaitu: (1) perencanaan strategis; (2) rencana kinerja tahunan yang menekankan komitmen organisasi untuk mencapai hasil tertentu sesuai dengan rencana strategis organisasi untuk permintaan sumber daya yang dianggarkan; (3) penetapan (kontrak) kinerja yang didesain untuk menyediakan sebuah proses meningkatkan komitmen untuk mengukur kinerja dan membangun akuntabilitas serta kesediaan untuk membuat organisasi menjadi transparan; (4) pengukuran dan evaluasi kinerja; serta (5) laporan kinerja yang dipublikasikan tahun.

Guna mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi sebagaimana diharapkan, maka langkah kedepan diperlukan adanya reformasi manajemen pemerintahan yang menurut pendapat (Mustopadidjaja, AR; 2003) meliputi: (1) Penataan kelembagaan (Institusional Arrangement). Penataan kelembagaan didasarkan pada visi, misi, sasaran, strategi, agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang terencana; dan diarahkan pada terbangunnya manajemen pemerintahan yang efisien, efektif, dan akuntabel; (2) Reformasi kepegawaian (Civil Servent Reform). Reformasi kepegawaian dilakukan melalui (a) perbaikan sistem remunerasi; (b) penilaian prestasi kerja sumber daya manusia aparatur; (c) pembinaan karier pegawai dan audit kinerja pegawai berbasis prestasi kerja; (d) penerapan sistem reward dan punishment yang memadai dalam pembinaan pegawai; (e) penyempurnaan sistem rekrutmen berbasis kompetensi; dan (f) mewujudkan sistem informasi manajemen kepegawaian secara terpadu; serta (g) penerapan manajemen kinerja individual; (3) Reformasi atas pengelolaan keuangan Negara (New Financial Management Reform). Reformasi atas pengelolaan keuangan Negara antara lain melalui penerapan anggaran berbasis kinerja, sebagaimana telah diamanatkan oleh berbagai peraturan perundangan di bidang keuangan Negara; dan (4) Reformasi sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (The New Public Sector Accountability Reform). Reformasi sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dilaksanakan melalui berbagai upaya penyempurnaan Sistem AKIP yang mencakup 5 (lima) tingkatan akuntabilitas, yaitu: (a) Tingkatan Sosial, yaitu bahwa suatu laporan perkembangan tahunan harus disampaikan kepada public; (b) Tingkatan Pemerintah; yaitu melalui penyiapan Renstra yang mengikhtisarkan prioritas 5 tahunan dan menyusun indikator kinerja program secara tahunan; (c) Tingkatan Korporat; para pimpinan BUMN menyiapkan Renstra dan business plan terkait dengan prioritas pemerintah serta mengidentifikasi sasaran dan ukuran kinerjanya; (d) Tingkatan Program, pada tingkatan program perlu dikembangkan ukuran kinerja dan dilakukan kontrak/penetapan kinerja serta dilakukan evaluasi program secara komprehensif.

Penutup


Untuk mewujudkan good governance dibutuhkan komitmen dan konsistensi dari semua pihak, aparatur negara, dunia usaha, dan masyarakat, dan pelaksanaannya di samping menuntut adanya koordinasi yang baik, juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja dan moral yang tinggi. Dalam rangka itu, diperlukan penerapan manajemen berbasis kinerja secara konsisten, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan berhasilguna. Dsamping itu, penerapan manajemen berbasis kinerja secara prefentiv dapat meminimalkan tindak pidana korupsi. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa dengan manajemen berbasis kinerja, transparansi; partisipasi, dan akuntabilitas organisasi akan lebih baik.

Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi adalah suatu kerangka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur tangan politik di satu sisi, dan reformasi manajemen pemerintahan di sisi lain. Sehingga penerapan manajemen berbasis kinerja akan dapat menjadi bagian (part of) dari upaya pemberantasan korupsi.


Daftar Pustaka

Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Instruksi Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional .


Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.

Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Lembaga Administrasi Negara, Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Jakarta, 2003.

AR, Mustopadidjaja, Format Bernegara Menuju Masyarakat Madani dalam Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Jakarta, Lembaga Administrasi Negara, 1999.
_____________, Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Mohamad, Ismail dkk, Konsep dan Pengukuran Akuntabilitas, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2004.

Sjahruddin Rasul, Penetapan (Kontrak) Kinerja, Pemicu Akuntabilitas Pemerintah, Jakarta, Majalah Layanan Publik, 2005.

Mahmudi, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2005.

J. Jerome, Paul, Evaluating Employee Performance, (Terjemahan), Jakarta, Lembaga Manajemen PPM, 2001.

Surya Dharma, Manajemen Kinerja: Falsafah Teori dan Penerapannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

A.S. Hornby (1963), The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, p.218.
Lopa, Baharuddin (1997), Masalah Korupsi dan Pemecahannya, Jakarta, PT. Kipas Putih Aksara.

Tidak ada komentar: