Kamis, 30 Oktober 2008

MENATA ULANG BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)

Oleh : Marsono*)
Latar Belakang

Pergeseran paradigma ekonomi publik (peran pemerintah dalam memotori gerak ekonomi sangat menonjol) ke dalam ekonomi pasar (manajemen ekonomi dilandaskan pada mekanisme pasar dan persaingan) telah menggejala di seantero dunia saat ini. Dengan meletakkan landasan operasi pada mekanisme pasar dan persaingan diharapkan akan dapat memacu individu dan badan usaha termasuk di dalamnya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk kreatif, inovatif dan terus berinisiatif dengan basis entrepreneurship dan cost efficiency. Orientasi pengelolaan BUMN dengan basis entrepreneurship dan cost efficiency tersebut adalah bagaimana meningkatkan kinerja BUMN sehingga badan usaha ini benar-benar dapat menjadi efisien dan kompetitif. Dengan demikian asset negara yang dikelola oleh BUMN dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat banyak.
Pendirian dan keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia adalah merupakan amanat konstitusi negara sebagaimana dinyatakan pada Pasal 33 UUD 1945 yang secara tegas mengamanatkan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, serta bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sejarah perkembangan BUMN di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari adanya tuntutan dan kebutuhan pemerintahan pada setiap masanya. Pada masa penjajahan Belanda telah dibentuk Pegadaian, Perusahaan Kereta Api dan Perusahaan Garam dan Soda yang merupakan cikal bakal berdirinya BUMN pada masa penjajahan tersebut. Selanjutnya pada masa perjuangan kemerdekaan telah didirikan beberapa BUMN, namun salah satu yang menonjol adalah BNI 1946, yang kemudian bersama dengan modal swasta mendirikan perusahaan niaga CTC (Central Trading Company) yang kemudian berkembang menjadi PT Panca Niaga hingga saat ini.
______________________________
*) Asisten Peneliti Madya pada Pusat Kajian Manajemen Kebijakan
Lembaga Administrasi Negara.
Peran BUMN sebagai unit ekonomi yang tidak terpisahkan dari sistem perekonomian negara, antara lain adalah: (1) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian negara; (2) menyelenggarakan kemanfaatan umum bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; (3) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan sektor swasta maupun koperasi; (4) mencari keuntungan/pendapatan; dan (5) sebagai salah satu sumber penerimaan keuangan negara (SANKRI : 2003).

Kebijakan Pengelolaan BUMN
Berdasarkan tinjauan empiris terhadap pembentukan BUMN sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa sejak zaman penjajahan Belanda telah dibentuk beberapa perusahaan negara dengan berbagai landasan pendirian serta orientasi usaha yang berbeda-beda, sehingga mengakibatkan kesulitan dalam pengendaliannya. Untuk mengatasi hal tersebut, maka diterbitkan Undang-Undang No. 19 tahun 1960 tentang Perusahaan Negara yang merupakan tonggak penting bagi pengaturan dan pengendalian BUMN di Indonesia. Pada periode ini terdapat kecenderungan yang kuat untuk “menegarakan” berbagai badan usaha dan memusatkan kekuasaan perekonomian di tangan pemerintah. Perkembangan selanjutnya UU No. 19 tahun 1960 tersebut disempurnakan dengan UU No. 9 tahun 1969.
Sesuai dengan perubahan iklim politik yang terjadi pada awal masa Orde Baru diterbitkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1979 yang mengelompokkan BUMN ke dalam tiga golongan yaitu: (1) Perusahaan Jawatan (Perjan) dengan ciri bersifat public service, yaitu berupa pelayanan kepada masyarakat, permodalannya termasuk bagian dari APBN dan status hukumnya dikaitkan dengan hukum publik. Pengaturan lebih lanjut tentang Perusahaan Jawatan telah diterbitkan PP No. 6 tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan; (2) Perusahaan Umum (Perum) dengan ciri bersifat public utility, yaitu melayani kepentingan umum dan diharapkan dapat memupuk keuntungan, modal seluruhnya milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan, berstatus badan hukum dan diatur berdasarkan undang-undang. Pengaturan lebih lanjut mengenai Perusahaan Umum telah dikeluarkan PP No. 13 tahun 1998 tentang Perusahaan Umum; (3) Perusahaan Perseroan (Persero) yang bersifat profit motive, modal seluruhnya atau sebagian milik negara dan terbagi atas saham-saham serta bersatus badan hukum perdata dan berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Pengaturan lebih lanjut untuk BUMN Persero telah dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagai penyempurnaan dari Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847) tentang Perseroan Terbatas.
Selanjutnya dalam rangka penataan yang berkelanjutan atas pelaksanaan peran BUMN, telah dikeluarkan PP No. 63 tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional Kepada Menteri Negara BUMN dan PP No. 64 tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan Perseroan, Perum dan Perjan kepada Menteri Negara BUMN. Dengan dikeluarkannya PP No. 63 tahun 2001 tersebut kedudukan BPPN tidak lagi di bawah Menteri Keuangan melainkan berada di bawah Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Namun demikian dengan disahkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka pembinaan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan tidak lagi berada di bawah kewenangan Kementerian Negara BUMN melainkan kembali berada di bawah kewenangan Menteri Keuangan. Dengan demikian seluruh asset negara yang dipisahkan yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pembinaannya berada pada Menteri Keuangan. Pengaturan lebih lanjut mengenai pengelolaan asset negara yang dipisahkan sesuai dengan amanat UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara tersebut adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang baru tahun 2003 yang khusus mengatur tentang BUMN, dimana bentuk BUMN disederhanakan menjadi dua, yaitu Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Sedangkan BUMN yang semula berbentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) selanjutnya akan dialihkan menjadi Perusahaan Umum (Perum) atau Perusahaan Perseroan (Persero) dalam tempo dua tahun sejak pemberlakukan UU tersebut.

Kondisi BUMN Saat Ini

Berdasarkan data Kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN jumlah Badan Usaha yang dibina sampai saat ini terdiri dari 161 BUMN (termasuk 14 Anak Perusahaan Holding PT. Pusri dan PT. BPIS, 13 BUMN Perum dan 15 BUMN Perjan) serta 21 Badan Usaha Patungan Minoritas (Kementerian Negara BUMN: 2002).

Pertumbuhan asset BUMN selama periode tahun 1997 s.d 2000 terus mengalami peningkatan. Tahun 1997 total asset BUMN sebesar Rp. 425,9 triliun meningkat menjadi Rp. 861,5 triliun pada tahun 2000. Tingkat pertumbuhan asset tertinggi selama periode tersebut terjadi pada tahun 2000 sebesar 41,9% dibanding dengan tahun sebelumnya sebesar Rp. 607,0 triliun. Peningkatan aset tahun 2000 tersebut berkaitan erat dengan penambahan BUMN baru sebanyak 15 BUMN pada tahun 2000 yang berstatus Perusahaan Jawatan (Perjan) yang meliputi Perjan TVRI, Perjan RRI, dan 13 Perjan Rumah Sakit. Untuk tahun 2001 berdasarkan angka RKAP (Rencana Kerja Anggaran Perusahaan), tolal asset BUMN menurun sekitar 1,19% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu mencapai Rp. 845,2 triliun. Data perkembangan asset BUMN selama periode tahun 1997 s.d 2001 dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1
Perkembangan Aset BUMN
Tahun 1997 s.d 2001
No.
Tahun
Total Aset (Rp Juta)
Pertumbuhan (%)
Keterangan
1
1997
425.971.407
-

2
1998
437.756.394
2,8
3
1999
607.022.845
38,7
4
2000
861.520.494
41,9
5
2001
845.186.151
-1,19
Sumber : Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN, Departemen Keuangan

Sedangkan jumlah modal (ekuitas) BUMN selama periode tahun 1997 s.d 2000 juga cenderung meningkat. Hanya saja, pada tahun 1998, modal BUMN menurun tajam bahkan sampai minus, yaitu mencapai (Rp. -86,5 triliun). Selanjutnya untuk tahun berikutnya sejalan dengan proses pemulihan perekonomian, modal BUMN mengalami peningkatan mencapai Rp. 56,7 triliun. Pada tahun 2000 modal BUMN telah mencapai Rp. 250,9 triliun yang berarti telah melebihi angka sebelum terjadi krisis ekonomi. Sedangkan untuk tahun 2001, modal BUMN mengalami sedikit penurunan sebesar 0,7% sehingga modal BUMN menurun menjadi Rp. 249,2 triliun. Data perkembangan Modal BUMN selama periode tahun 1997 s.d 2001 dapat dilihat pada tabel 2 berikut :
Tabel 2
Perkembangan Modal BUMN
Tahun 1997 s.d 2001
No.
Tahun
Total Aset (Rp Juta)
Pertumbuhan (%)
Keterangan
1
1997
102.844.831
-

2
1998
-86.477.859
-
3
1999
56.737.199
-
4
2000
250.941.658
342,3
5
2001
249.232.926
-0,7
Sumber : Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN, Departemen Keuangan

Kontribusi BUMN terhadap negara selama beberapa tahun terakhir adalah sebagai berikut: pada tahun anggaran 1997/1998 BUMN memberikan kontribusi laba kepada pemerintah sebesar Rp. 2,3 triliun, pada tahun anggaran 1998/1999 sebesar Rp. 3,4 triliun dan pada tahun 1999 sebesar Rp. 4 triliun, tahun 2000 sebesar Rp. 5,5 triliun dan tahun 2001 sebesar kurang lebih Rp. 6 triliun. Disamping itu sejak tahun 1999 pemerintah juga menargetkan pemasukan dari hasil privatisasi BUMN dalam rangka menutup ketimpangan pembiayaan (financing gap) APBN sampai dengan tahun 2002 sebesar Rp. 13 triliun. Sedangkan untuk APBN tahun 2003 pemerintah menargetkan pemasukan dari privatisasi BUMN sebesar Rp. 8 triliun.
Target kinerja keuangan BUMN kedepan sampai dengan tahun 2006 sesuai dengan Master Plan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Tahun 2002-2006 dapat dilihat pada tabel 3 berikut:
Tabel 3
TARGET KINERJA KEUANGAN BUMN
TAHUN 2002 s.d 2006

TAHUN
TOTAL PEND.
EBT
TOTAL ASSET
EQUITY
ROA (%)
ROE (%)

KETERANGAN
1
2
3
4
2 : 3
2 : 4
2001
207.390
27.783
772.501
139.611
3,60
19,90
Pend. : 13% / th
EBT : 12% / th
T. Asset: 8% / th
Equity : 8 % / th
ROA : 4 % / th
ROE : 4 % / th
2002
237.567
30.573
831.162
157.189
3,68
19,45
2003
258.975
34.371
900.030
172.353
3,82
19,94
2004
284.166
37.537
963.346
182.572
3,90
20,56
2005
327.119
42.960
1.032.993
194.972
4,16
22,03
2006
378.668
49.734
1.113.067
209.562
4,47
23,73
Sumber : Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 2002.


Menata Ulang BUMN Ke Depan

Dalam mengemban misi mengelola asset negara yang dipisahkan, BUMN harus mempunyai tanggung jawab moral yang besar, yaitu selain harus dapat menjaga keutuhan, pengamanan dan mengoptimalkan pemanfaatan asset negara, juga harus berusaha secara terus menerus untuk meningkatkan kinerjanya, sehingga badan usaha ini benar-benar dapat menjadi efisien dan kompetitif. Dengan demikian asset negara yang dikelola dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat banyak.
Untuk dapat mengoptimalkan perannya dalam perekonomian nasional, maka BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan sistem pengelolaan dan pengawasan, serta peningkatan efisiensi dan produktifitasnya, sehingga mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang sangat cepat dan dinamis dengan tingkat persaingan yang sangat tajam.
Pengelolaan dan pengawasan BUMN ke depan, harus didasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) yang meliputi aspek: (1) transparansi; (2) kemandirian; (3) akuntabilitas; (4) pertanggungjawaban; dan (5) kewajaran.
Adapun peningkatan efisiensi dan produktivitas BUMN dapat dilakukan antara lain melalui restrukturisasi, baik restrukturisasi sektoral maupun restrukturisasi internal perusahaan. Restrukturisasi sektoral dimaksudkan agar tercipta iklim usaha yang kondusif sehingga tercipta efisiensi dan pelayanan yang optimal. Sedangkan restrukturisasi internal perusahaan dimaksudkan agar BUMN dapat meningkatkan daya saing, produktivitas dan kinerja perusahaan. Restrukturisasi internal perusahaan dapat dilakukan antara lain melalui penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen dan keuangan BUMN (Menteri Negara BUMN: 2003).
Beberapa langkah strategis dalam penataan BUMN ke depan, yang antara lain dikemukakan oleh Riant Nugroho, D., (2003) antara lain melalui 6 tahapan pembinaan BUMN yaitu: (1) Tahap I: Nasionalisasi; (2) Tahap II: Administrasi; (3) Tahap III: Pengelolaan Teknis; (4) Tahap IV: Langkah Politis; (5) Tahap V: Langkah Strategi; (6) Tahap VI: Langkah Teknis. Adapun tahapan penetaan dan pembinaan BUMN dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut:






















Gambar 1
TAHAPAN PEMBINAAN BUMN

Tahap I: Nasionalisasi - pengambilalihan dari kepemilikan asing
BUMN terpisah-pisah dan belum ada pengelolaan yang jelas. Masing-masing dikelola oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu (parpol, militer, kekuasaan)

Tahap II: Administrasi - akuisisi ke dalam pengelolaan teknis
BUMN dipilah-pilah ke dalam kementerian/departemen teknis.

Tahap III: Pengelolaan Teknis - kejelasan antara Wakil pemilik dan pembina Kepemilikan BUMN diwakilkan kepada Departemen Keuangan namun pembinannya
diserahkan kepada Kementerian/departemen teknis.

Tahap IV: Langkah Politis - Reposisi & Restrukturisasi BUMN
Kepemilikan BUMN diwakilkan kepada Departemen Keuangan, pembinaannya
diserahkan kepada Menteri Negara Pendayagunaan BUMN

Tahap V: Langkah Strategis - Restrukturisasi & Profesionalisasi BUMN
Kepemilikan BUMN diwakilkan kepada Departemen Keuangan, pembinaannya
diserahkan kepada Badan Pembina/Restrukturisasi BUMN

Tahap VI: Langkah Teknis - Kemandirian/profesionalisasi BUMN
Kepemilikan BUMN diwakilkan kepada Departemen Keuangan, pembinaannya
(tidak ada lagi “pembinaan”) diserahkan kepada induk-induk perusahaan (holding) BUMN



Lebih lanjut dari konsep tahapan pembinaan BUMN tersebut, dalam rangka penyehatan BUMN diperlukan strategi generik reformasi BUMN yang terdiri dari tiga sekuensi, yaitu : (1) Sekuensi I: Restrukturisasi, yang lebih difokuskan kepada BUMN yang under-managed baik karena masalah internal maupun eksternal. Masalah internal adalah karena kurangnya kompetensi manajerial dari BUMN bersangkutan. Hampir seluruh BUMN memerlukan proses restrukturisasi manajerial. Masalah eksternal karena BUMN yang bersangkutan terkait kontrak-kontrak dengan pihak ketiga yang dapat mempailitkannya; (2) Sekuensi II: Peningkatan laba (profitisasi), yang merupakan langkah lanjut dari restrukturisasi, karena setiap BUMN yang bersifat Persero bermotif profit, dan persiapan privatisasi yang bernilai tambah, bagi BUMN yang dapat diprivatisasi. Dengan demikian sebelum diprivatisasi BUMN sudah sehat dan dapat diprivatisasi dengan harga penawaran yang lebih optimal; (3) Sekuensi III: Privatisasi, dengan kriteria dan ketentuan yang jelas sesuai sifat BUMN, di mana BUMN yang bersifat sangat strategis akan tetap dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, sementara yang diluar kategori tersebut dapat diprivatisasi. Privatisasi yang lebih memberikan hasil optimal sebaiknya dilakukan dua tahap, yaitu: (a) melalui mitra strategis, dengan keuntungan injeksi modal, pasar kompetensi manajemen, dan teknologi; (b) melalui pasar modal, dengan keuntungan injeksi kapital dan citra transparansi, baru dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu go public. Adapun peta strategis dari strategi generik reformasi BUMN dapat dilihat pada Gambar 2 sebagai berikut :


Gambar 2
STRATEGI GENERIK FEFORMASI BUMN

Sekuensi I

BUMN yang undermana-ged baik karena masalah internal maupun eksternal. Masalah internal karena kurangnya kompetensi manajerial dari BUMN bersangkutan. Hampir seluruh BUMN memer-lukan proses restrukturisasi manajerial. Masalah eks-ternal karena BUMN yang bersangkutan terkait dengan kontrak-kontrak dengan fihak ketiga yang dapat mempailitkannya.


Sekuensi II

Peningkatan laba merupakan: (1) langkah lanjut dari restrukturisasi, karena setiap BUMN yang bersifat Persero bermotif profit, dan (2) persiapan privatisasi yang bernilai tambah, bagi BUMN yang dapat diprivatisasi. Dengan demikian sebelum diprivatisasi BUMN sudah sehat dan dapat diprivatisasi dengan harga penawaran yang lebih optimal.

Sekuensi III

Privatisasi: (1) Tergantung keperluan dan sifat BUMN; BUMN yang bersifat sangat strategis akan tetap dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, sementara yang diluar kategori tersebut dapat diprivatisasi; (2) melalui mitra strategis, dengan keuntungan injeksi modal, pasar kompetensi manajemen, dan teknologi; atau pasar modal dengan keuntungan injeksi kapital dan citra transparansi.
Tahap I : Restrukturisasi

Tahap II : Peningkatan Laba

Tahap III : Privatisasi
Sumber : Riant Nugroho D., (2003).


Thynne (1991) juga menawarkan satu pemikiran dalam pengelolaan dan penataan BUMN yaitu berupa model reformasi BUMN yang merupakan strategi untuk menstransformasikan manajemen BUMN dari karakter birokrasi menuju karakter perusahaan swasta, antara lain mencakup tiga faktor penting, yaitu: (1) komersialisasi; (2) korporatisasi; (3) divestasi. Adapun model transformasi BUMN tersebut dapat dilihat pada gambar 3 sebagai berikut:







Gambar 3
MODEL TRANSFORMASI BUMN

……………….……………..Public sector ………………..…….. Private sector
High ……………….degree of policy, financrial and …………. Low
personnel control by governmen

Counter Forces
eg. Resistance of enterprices”s
management and employees;
political (including union)
opposition; and/or inadequate enterpreneurial talent Departemen

Statutory Body
(unincorporated)Commercialisation




Commewrcialisation


Corporatisation (1)
Statutory Body
(unincorporated)
Statutory Body
(either unincorporated or incorporated)











Corporatisation (2)
Government Company


Commercialisation Stimuli
eg. Desire to increase enterprise’s efficiency, profitability and market responsiveness; and/or to reduce government’s budget deficit, foreign foreign debt, and organizational burden
Divestment
(partial)
(full)








Low …………………………………..….…... degree of legal and operational ………………..………… High autonomy within government
………………………….…………………Public sector ……………..……………………….. Private sector

Sumber : (Tyynne: 1991).

Model reformasi ini merupakan strategi untuk mentransformasikan manajemen BUMN dari karakter birokrasi secara pelan-pelan menuju karakter perusahaan swasta. Pada gambar 3 tersebut di atas, tercakup tiga faktor penting, yaitu komersialisasi, korporasi dan divestasi. Sebagai langkah pertama adalah upaya mengkomersialisasikan seluruh BUMN tanpa memperhatikan status hukumnya ke dalam pola perusahaan swasta. Selanjutnya setelah BUMN dapat melaksanakan fungsi komersialisasi, maka tahap berikutnya adalah melaksanakan divestasi, yaitu melalui pelepasan sebagian saham perusahaan.
Salah satu strategi pengelolaan dan penataan BUMN oleh pemerintah adalah melalui Keputusan Menteri Keuangan No.70/KMK.00/1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas BUMN, yang pada intinya ditempuh melalui kegiatan restrukturisasi BUMN, yang mencakup variasi-variasi kegiatan sebagai berikut : (1) perubahan status hukum yang lebih menunjang pencapaian misi BUMN; (2) kerjasama operasi dan kontrak manajemen dengan pihak ketiga; (3) konsolidasi atau merger; (4) pemecahan badan usaha kearah usaha yang lebih mantap (biasanya ditempuh melalui strategic business unit); (5) penjualan saham melalui pasar modal; (6) penjualan saham secara langsung; dan (7) pembentukan perusahaan patungan.
Indra Bastian (2002) menyatakan bahwa untuk mereformasi BUMN antara lain dapat melalui: (1) pembentukan holding BUMN, yang pada intinya diharapkan akan memberikan manfaat antara lain: (a) mencari sumber pendanaan yang lebih murah; (b) mendorong proses penciptaan nilai, market value creation dan value enhancement; (c) mengalokasikan modal dan melakukan investasi yang strategis; (d) mensubstitusi defisiensi manajemen di anak-anak perusahaan; (e) mengkoordinasikan langkah agar dapat akses ke pasar internasional; (f) mengembangkan kemampuan manajemen puncak melalui cross-fertilization; dan (2) pembentukan korporasi BUMN, melalui 8 fondasi korporasi kelas dunia, yaitu: (a) Masterplan reformasi BUMN yang menyangkut sasaran, strategi, dan kebijakan; (b) Sistem manajemen yang mencakup sistem manajemen universal yang kompetitif, adaptif, dan sensitif terhadap perubahan lingkungan; (c) Sistem informasi manajemen diantaranya adalah dibangunnya sistem informasi BUMN on line melalui jaringan internet dan tersedianya data informasi yang cepat, akurat, dan reliable; (d) Kepemimpinan korporasi, dengan mengubah paradigma kepemimpinan yang menekankan penyelarasan, komitmen, pemberdayaan, dan kemampuan kepemimpinan; (e) Ketatalaksanaan dan etika korporasi, untuk pihak internal adalah dengan menyeimbangkan kekuatan di dalam korporat antara manajemen, pemegang saham, komisaris, direksi dan karyawan serta kreditur, sedangkan di pihak eksternal adalah kesejajaran dengan stake holder lainnya di luar BUMN; (f) Perencanaan dan pengendalian yang berisi tiga hal pokok yaitu rencana jangka panjang perusahaan (RJPP) mencakup program restrukturisasi dan privatisasi, rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) serta sistem pengendalian BUMN; (g) Sistem insentif dan remunerasi yang diharapkan akan dapat meningkatkan motivasi dan memacu semangat untuk berkompetisi secara sehat dalam meningkatkan kinerja BUMN; (h) Kesatuan dan kerukunan karyawan, dipandang perlu untuk membentuk suatu serikat pekerja yang independen, terlepas dari berbagai kepentingan politik.
Pelkmans and Wagner (1990) menyatakan bahwa terdapat dua kondisi yang harus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi badan usaha : “first, government control and interference have to be abolished, and secondly, the privatised companies must be exposed to increased competition”
Selanjutnya Ramamurti (1987) menawarkan dua strategi dalam pengelolaan dan penataan BUMN, yaitu: (1) kemandirian strategis, suatu kemandirian yang berkaitan dengan perumusan dan penentuan sasaran perusahaan, keputusan investasi, penetapan strategi perusahaan dan keputusan-keputusan lainnya yang bersifat strategis; (2) kemandirian operasional, yaitu kemandirian yang berkaitan dengan tugas manajemen sehari-hari seperti produksi, pemasaran atau manajemen personalia.

Penutup

Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan prinsip-prinsip good corporate governance, maka kedepan BUMN harus dapat memberikan akses yang sebesar-besarnya bagi pemeriksaan ekternal, baik itu akuntan publik maupun BPK dan BPKP. Hal ini penting dalam rangka memperjelas posisi BUMN, yang disatu sisi merupakan entitas bisnis yang tunduk pada UU Perseroan Terbatas dan UU Pasar Modal, tetapi disisi lain juga merupakan badan usaha yang mengelola kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan demikian paling tidak ada satu tanggungjawab moral yang melekat pada BUMN tersebut dalam rangka menjamin pengamanan dan pengoptimalan pemanfaatan asset negara yang dikelolanya, sehingga dapat memberikan manfaat bagi hajat hidup orang banyak.
Agar pengelolaan asset negara dapat memberikan kontribusi yang lebih nyata bagi negara dan rakyat banyak, maka BUMN yang secara kelembagaan mengelola asset negara tersebut kedepan harus ditata ulang baik menyangkut dasar hukum pembentukannya, bentuk badan usaha, organisasi, manajemen dan keuangannya.


Daftar Pustaka

1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara;
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Persero);
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
5. Undang-Undang Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Jawatan (Perjan);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan (Perjan);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2001.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2001.
14. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 70/KMK/00/1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
15. Lembaga Administrasi Negara, Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta, 2003;
16. Kementerian BUMN, Master Plan Badan Usaha Milik Negara Tahun 2002 - 2006, Jakarta, 2002;
17. Riant Nugroho, D., Reinventing Pembangunan: Menata Ulang Paradigma Pembangunan Untuk Membangun Indonesia Baru Dengan Keunggulan Global, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003;
18. Levy, B., A theory of Public Enterprise Behavior, Journal of Economic Behavior, and Organization, 1987.
19. Ramamurti, R., Controlling State-Ownwed Enterprise, Public Enterprise, 1987.
20. Pelkmans, J., and Wagner, N., The Economics of Privatization and Deregulation: Lessons from ASEAN and the EC’, in J. Pelkmans and N. Wagner(Eds.) Privatization and Deregulation in ASEAN and the EC: Making Market more effective, Singapore: Institute of South Asean Studies, 1990.
21. Thynne, I., Transformation of Public Enterprises: Changing Patterns of Ownership, Accountability and Control’ in C.Y. Ng and N. Wagner (eds.) Marketization in ASEAN, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1991.
22. Indra Bastian, Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi, Jakarta, Salemba Empat, 2002.
23. Teddy Pawitra, Manajemen Di Indonesia, Beberapa Isu Kontemporer, FE UI, 1993.

Tidak ada komentar: